Keruntuhan Khilafah Utsmaniyah telah berlalu 92 tahun. Usaha untuk menegakkannya kembali, terus dilakukan umat Islam sejak saat keruntuhannya hingga hari ini. Beragam uslub dan wasilah telah ditempuh untuk mengembalikan eksistensi lembaga politik umat Islam itu, namun hingga saat ini belum terwujud.
Panjangnya waktu kembalinya struktur politik ideal umat Islam itu tak lepas dari berbagai sebab yang mempengaruhi,internal maupun eksternal.
Hambatan Wujudnya Kembali Khilafah
Sebab-sebab internal yang menghambat, cukup kompleks. Pada awalnya disangka pembentukan khilafah dapat dilakukan segera dan dengan mudah disepakati sebuah struktur politik bersama untuk menggantikan peran khilafah yang runtuh itu, dengan sebuah kongres atau muktamar. Ternyata eksistensi khilafah merupakan ‘menara’ kesatuan dan kekuatan umat.
Jika dalam kenyataannya umat tidak bersatu, dan umat tidak kuat, struktur politik ideal itu tidak dapat berdiri. Tak ada penopang. Bagaimana mau berdiri jika para penguasa di negeri-negeri muslim yang mengundang kongres itu, terutama para penguasa Arab, maunya hanya memimpin dan tidak bersedia menempatkan kekuasaannya sebagai sub-struktur kekhalifahan?
Para ulama tak mampu meyakinkan para penguasa untuk menempatkan supremasi syariat melebihi kekuasaan politik yang mereka kejar. Egoisme kekuasaan, telah menjadi jalan takdir tidak terwujudnya kembali khilafah pada saat awal keruntuhannya. Kongres Makkah 1926 pada awal masa pemerintahan Ibnu Sa’ud, juga Kongres Khilafah di Mesir pada tahun yang sama (1926) menjadi bukti sekaligus saksi kegagalan usaha itu.
Kenyataan internal yang lain, kekuatan militer yang merupakan pilar penyangga Khilafah dalam keadaan lemah, tertinggal dengan musuh-musuhnya dalam perlombaan persenjataan. Kekuatan militer Arab telah bergeser fungsi, tak lagi sebagai tentara penolong syariah, pilar penopang khilafah.
Kegagalan tersebut disusul dengan kekacauan yang datang seiring perjalanan waktu. Jika pada masa yang tidak jauh dari kejatuhannya gambaran khilafah dan peranannya dalam pelaksanaan dien masih tercetak jelas dalam persepsi umat saat itu, seiring perjalanan waktu, image khilafah terus terkikis karena tidak ada pelaksanaan syariah (lantaran tidak ada struktur politik khilafah, pemerintah negara-negara ‘nation state’ muslim juga tidak mengimplementasikan syariah) dan semakin langkanya penjelasan dari para ulama’ yang mencukupi seputar khilafah dan peranannya. Hingga datang generasi umat Islam yang tidak pernah melihat kiprah khilafah secara langsung, dan tidak mengenal lembaga tersebut melalui pengajaran yang menunjukkan sifat-sifat kebaikan institusi tersebut. Khilafah hilang dari kenyataan sekaligus hilang dari pikiran.
Hambatan dan gangguan eksternal penegakan khilafah berasal dari musuh-musuh Islam yang pernah merasakan langsung perbenturan eksistensi dengan mereka. Imperium Romawi, baik Romawi barat (katolik) yang berpusat di Vatikan Roma maupun Romawi timur (ortodoks) yang berpusat di Damaskus kemudian Konstantinopel, memendam dendam panjang tak terlupakan kepada khilafah.
Kelompok majusi Iran maupun paganis Hindu-Budha semua pernah merasakan kehancuran berhadapan dengan kekuatan khilafah Islam. Karena itu ketika mereka leading saat keruntuhannya, mereka tak akan pernah memberi peluang gratis terhadap kemunculan kembali eksistensi khilafah. Sendiri maupun bersama-sama mereka menghadang kemunculannya.
Hadangan dari pihak eksternal tak hanya dalam bentuk serangan militer atau penolakan mereka di forum-forum internasional seperti PBB, penetrasi mereka ke dalam tubuh umat Islam sangat kuat, dalam upaya memunculkan hambatan internal umat Islam sendiri, baik dalam bentuk pemikiran yang menganggap tidak perlunya institusi khilafah, atau memandang keberadaan khilafah akan menimbulkan chaos karena memantik penentangan banyak pihak, hingga gaya hidup meterialistik-hedonis yang menolak tunduk kepada supremasi syariat lantaran mengganggu kebebasan syahwat.
Fajar Baru
Setelah era kolonialisme, para penjajah berhasil menempatkan kader-kader lokalnya untuk mengamankan agenda ekonomi dan menghalangi umat Islam kembali kepada sistem politik khilafah, sehingga terjadi benturan internal sama agama, sama bahasa, sama warna kulit, sama etnis. Ketika Uni Sovyet melakukan invasi langsung ke Afghan, harakah jihad berkesempatan bertarung vis a vis dan mengalahkannya. Setelah itu berhadapan langsung dengan AS dan barat sejak serangan mujahidin terhadap menara kembar WTC.
Sekarang ini gerakan jihad global, menemukan kondisi baru di luar skenario mereka, Arab Spring. Dunia Arab telah lama mengalami ketertindasan oleh para penguasa zalim yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan tidak peduli terhadap rakyat dan agama Islam. Kini rakyat yang tertindas itu berani menentang penguasa-penguasa tersebut apapun ongkos yang dituntut.
Puluhan ribu nyawa melayang untuk membeli kebebasan dan menolak kembalinya penindasan. Meskipun revolusi ‘Arab Spring’ itu sendiri tidak berbuah langsung kembalinya masyarakat muslim Arab kepada syariat Allah, tetapi anarkhisme yang timbul sesudah runtuhnya pusat-pusat kekuasaan dan beking di belakangnya, membuka kesempatan unsur gerakan jihad untuk masuk dan memainkan perannya.
Abdullah bin Muhammad dalam beberapa ‘memo strategis’-nya kepada Syaikh Usamah bin Ladin rh. setelah keberhasilan revolusi Mesir menumbangkan Mubarak, (meskipun memo itu akhirnya tidak sampai karena beliau gugur) menyampaikan analisis menarik disertai prediksi keadaan ke depan setelah ‘Arab Spring’. Beliau menganalogikan keadaan setelah Arab spring akan serupa dengan Yatsrib setelah perang Bu’ats dimana para pembesar Aus dan Khazraj meninggal, keadaan vacuum of power, keseimbangan rusak dan membuka jalan bagi tenaga muda yang bisa memimpin dan mampu untuk tampil mengisi kekosongan.
Keadaan chaos dan anarkhi pasca runtuhnya pusat-pusat kendali kekuasaan, membuka peluang bagi unsur-unsur gerakan jihad untuk membentangkan peta dan mulai menentukan di titik mana Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah jilid II akan menancapkan benderanya. Syarat-syarat untuk berdiri, mempertahankan diri dari serbuan musuh, tumbuh berkembang, mendapatkan legitimasi umat Islam, kemudian mengalahkan musuh dalam pertarungan hidup-mati mempertahankan eksistensi, ditetapkan berdasarkan nubuwah Rasulullah dan kajian empirik berdasarkan akal sehat.
Syarat-Syarat Pusat Kekhilafahan
Agar nantinya khilafah mampu tegak berdiri, mesti ada penopang. Ada umat yang menjadi modal untuk memberikan pengorbanan bagi wujudnya cita-cita suci tersebut. Umat yang berani dan sanggup membayar harga kemuliaan penegakan syariat dengan pengorbanan maksimal; dirinya, hartanya, keluarganya, kemapanannya, bahkan darahnya di jalan Allah. Seperti jaminan kaum Anshar pada malam Bai’at Aqabah II.
Untuk tumbuh berkembang harus berada di pusaran arus utama politik dunia, bukan di tempat yang secara politis mati. Dan harus ada dukungan potensi sumber daya alam yang dapat digali untuk mengembangkan dan menguatkan khilafah dalam berhadapan dengan musuhnya. Meskipun mungkin dapat dengan mudah dapat dikuasai, tetapi daerah seperti Sinai atau Darfur, atau Sahara Barat bukanlah tempat yang tepat untuk itu. Sebab untuk bertahan dari gempuran musuh dengan berbagai senjata canggih harus memiliki perlindungan alami yang baik. Tempat-tempat tersebut tidak memiliki syarat untuk itu.
Potensi sumber daya alam yang dapat digali untuk mengembangkan ekonomi dan persenjataan juga tidak tersedia di tempat-tempat itu atau di Somalia misalnya. Bahkan untuk bertahan hidup jika menghadapi embargo ekonomi musuh melalui lembaga-lembaga internasional bentukan mereka juga tidak mampu karena tidak tersedia sumber air yang cukup, lahan pertanian yang memungkinkan untuk hidup subsistem dll. Harus mempunyai sumber penghidupan yang memungkinkan untuk bertahan.
Selanjutnya untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan umat Islam kota-kota suci yang memiliki pengaruh religius harus berada di bawah kekuasaannya. Kota Makkah dan Madinah, juga masjid al-Aqsho mesti di bawah kontrol khilafah.
Setelah memperhatikan dan mempertimbangkan syarat-syarat tersebut, emirat Islam sebagai inti pokok Khilafah seharusnya berada di sekitar Hejaz, dengan dua lengan penopang yang kuat Ahlus-Sunnah Yaman dan Ahlus-Sunnah Syam. Penduduk dua tempat tersebut telah mendapatkan pujian-pujian Nabi tentang sifat baiknya dan peranannya dalam penegakan dien. Umat Islam Ahlus-sunnah di Mesir, Iraq dan negara-negara teluk yang lain menjadi lini kedua terdekat untk berperan dalam proyek tersebut.
Analisa dan prediksi beliau ini mempunyai argumentasi naqli maupun akal sehat. Juga setelah ash-shohwah al-Islamiyah al-jihadiyah menempuh perjalanan panjang dengan segala dinamika, menghadapi berbagai tantangan, gangguan dan hambatan, serta perubahannya dari waktu ke waktu. Lontaran pemikiran ini sekaligus juga sebagai koreksi bagi para pemimpin gerakan Islam, jika memang bersungguh-sungguh, bahwa daulah Islamiyah, khilafah tidak berdiri di ruang kosong, jika yang dimaksudkan adalah daulah, khilafah yang nyata dan berperan. Memerlukan berbagai syarat dan kondisi, juga kesungguhan dan pengorbanan. Koreksi untuk usaha mendirikan daulah Islamiyah di tempat yang tidak memiliki syarat.
Bagi aktivis Islam yang serius, pemikiran ini berarti orientasi baru untuk menghimpun kekuatan dan fokus. Semoga dari titik itu impian untuk menegakkan kembali Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwah menjadi kenyataan. Tinggal bagaimana kita berpikir dan bertindak dengan sungguh-sungguh menyambut orientasi baru yang mulai menyingsing itu, sebab beda fokus beda pula persiapan teknisnya.*
sumber : kiblat.net