Koleksi

Flag Counter

Rabu, 27 November 2013

Ketika Ukhuwah Tak Lagi Indah

tali-putus1Memulai memang berat, tapi lebih berat lagi merawatnya. Sebab, orang yang selalu ber­sama itu bukan tak mungkin muncul gesekan di antara keduanya. Kamu yang sama-sama aktif di Rohis sekolah, bisa juga muncul benih-benih yang bisa merapuhkan ikatan ukhuwah.
Perbedaan pendapat dalam hal-hal yang umum dan mubah bisa saja terjadi. Misalnya, ketua Rohis ingin bikin acara sanlat, sementara anggota Rohis ada yang nggak setuju karena misalnya ngerasa acara seminar remaja justru lebih pas ketimbang sanlat. Nah, kalo hal itu nggak dikomunikasikan dengan baik, bisa muncul konflik yang bisa mengancam keutuhan ukhuwah kita.
Jadi gimana dong? Begini, intinya me­mang kudu bisa saling menjaga perasaan. Boleh berbeda pendapat, tapi jangan sampe beran­tem. Kalem aja. Toh juga untuk kebaikan bersa­ma. Lagipula adanya konflik itu kan untuk men­dewasakan kita. Bukan malah menjadikan kita berpikir seperti anak kecil, yang menganggap bahwa setiap konflik selalu berarti ancaman. Itu salah. Sebab, adakalnya konflik itu justru per­tanda ada kepe­dulian, bukan sebaliknya. Jadi yang terpenting adalah bagaimana kita mampu mengelola konflik itu dengan baik.
Inget lho, itu baru sesama aktivis Rohis. Skalanya masih kecil. Gimana kalo itu harus berhadapan dengan yang lebih luas lagi, misal­nya di sekolah dan di lingkungan masyarakat. Wah, di situ menuntut kita untuk ekstra hati-hati dalam bersikap dan mengambil keputusan. Sebab, masalahnya bisa amat njlimet.
Oke deh, saya sih insya Allah yakin bahwa kamu masih bisa sepaham dan sejalan dengan temen-temen satu kelompok pengajian. Tapi adakalanya ketika kita berhadapan dengan teman dari ke­lompok pengajian lain malah saling sikut, karena, maaf saja, ‘rebutan’ lahan dakwah mi­salnya. Sayangnya, itu banyak terjadi, lho. Lebih tragis lagi berlangsung turun temurun dengan dibumbui dendam segala. Wah, wah, wah.
Anehnya lagi, seringkali generasi di bawahnya juga ikut-ikutan tanpa tahu kenapa mereka harus seperti itu. Duh, di sini kita sudah kalah. Dan yang tertawa, selain setan, tentunya adalah musuh kita, orang-orang kafir itu. Itu artinya, tugas mereka jadi mudah, karena tinggal ngomporin aja salah satu kelom­pok dan kemudian menerapkan strategi ‘belah bambu’. Sebagaimana yang pernah sukses dijalankan oleh Belanda saat menjajah negeri ini, yakni antar para pejuang kemerdekaan saling bertarung mati-matian. Sementara yang menjadi peme­nang adalah penjajah. Mengenaskan!
Padahal sobat muda muslim, selama masih sesama kaum muslimin, dan jika kemu­dian dalam perjalanannya muncul konflik karena perbedaan pendapat, jangan langsung musuhan. Nggak baik. Kalo kita musuhan, baik itu diwu­judkan dengan adu fisik ataupun perang dingin, padahal itu sesama aktivis Islam, aduh, itu artinya ukhuwah yang selama ini digembar-gem­borkan cuma sekadar teori. Praktiknya nol!
Dalam kitab Minhajul Qashidin karya Ibnu Qudamah diterangkan bahwa Rasulullah saw. mengajarkan kepada kita untuk tidak menyakiti sesama mus­lim, baik dengan perkataan atau perbuatan, bertawadhu kepada sesama muslim, tidak me­nyombongkan diri di hadapannya, tidak meng­gunjing orang lain di hadapannya dan tidak men­dengarkan gunjingannya. Juga tidak boleh menghindari (baca: marahan or musuhan) sesa­ma muslim selama lebih dari tiga hari.
Nabi saw. bersabda: ”Tidak diperbolehkan seorang mukmin untuk menghindari mukmin lainnya lebih dari tiga hari. Jika sudah lebih dari tiga hari lalu dia bertemu dengannya, maka hendaklah dia mengucapkan salam kepadanya. Jika dia menjawab salamnya, maka keduanya bersekutu dalam pahala. Jika dia tidak men­jawab salamnya, maka yang mengucapkan salam sudah terbebas dari dosa menghin­darinya.” (HR Bukhari dan Abu Daud)
Maka, jika ada di antara kita, hanya karena berbeda kelompok pengajian, hanya karena berbeda guru pengajian, atau hanya karena perbedaan kitab yang dikaji, lalu kita memasang kuda-kuda dan siap perang–bahkan banyak kejadian saling mengumbar fitnah–aduh, mengerikan sekali. Jadi, di mana praktik ukhuwah islamiyah yang selama ini dikaji? Apakah nggak ada kesempatan untuk bicara menyamakan persepsi?
Sabda Rasulullah saw.: “Jangan kamu sa­ling dengki dan iri, dan jangan pula meng­ungkit keburukan orang lain. Jangan saling benci dan jangan saling bermusuhan, serta jangan saling menawar lebih tinggi atas penawaran yang lain. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim yang lainnya, dengan tidak mendzaliminya, tidak mengecewakannya, tidak membohonginya, dan tidak merendahkannya. Letak takwa ada di sini (Nabi saw menunjuk ke dada beliau, sampai diulang tiga kali). Seorang patut dinilai buruk bila merendahkan sudaranya yang muslim. Seorang muslim haram menumpahkan darah, merampas harta, dan menodai kehormatan muslim lainnya” (HR Muslim)
Oke deh sobat, semoga kita bisa merawat ukhuwah islamiyah kita. Jangan saling membenci dan melukai dengan sesama saudara seakidah ye. Nggak baik. Soalnya, kalo tetep saling membenci dan bahkan melukai—baik secara fisik maupun perasaan—dengan sesama kaum muslimin, itu artinya nggak ada saling cinta. Betul ndak?
Itu sebabnya, jangan berani bilang cinta kepada kaum muslimin, kalo pada kenyataannya kita nggak bisa menjalin ukhuwah islamiyah, apalagi merawatnya. Bagaimana?
Salam,
O. Solihin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar