Eramuslim.com
– Untuk membangun satu tatanan dunia yang sama sekali baru, Illuminati
menyusun skenario yang tidak tanggung-tanggung: penghancuran total
segala macam infrastruktur yang dianggap bisa menghalangi rencana besar
ini, dan kemudian membangunnya kembali sesuai dengan cetak biru mereka.
Ini tentu bukan pekerjaan yang mudah dan bisa diselesaikan dalam waktu
singkat, namun hal tersebut—kepercayaan diri mereka—juga menunjukkan
kepada kita betapa mereka sebenarnya didukung oleh sumber daya manusia,
kekuasaan, dan juga dana yang amat besar.
Dalam masa ini, antara abad ke-17 hingga abad ke-19M, inilah
masa-masa pergolakan di Eropa, tumbuh kembangnya peradaban dan juga
kemajuan teknologi, serta juga keyakinan. Para pewaris Biarawan Sion
yang kini telah menjadi para Mason—dan tentunya berbagai kelompok
esoteris lainnya seperti Illuminati—bergerak secara licin di pusat-pusat
kekuasaan Eropa untuk menaklukkan benua tersebut bagi kelompok mereka.
Ordo Kabbalah sudah menyebar di Eropa sejak Perang Salib pertama.
Bahkan kelompok inilah yang sesungguhnya telah menghasut Paus Urbanus II
untuk mengibarkan bendera Perang Salib untuk menduduki kembali Kota
Suci Yerusalem dari tangan kaum Muslimin. Keberadaan mereka bertambah
banyak ketika pasukan Salahuddin al-Ayyubi, beberapa tahun kemudian,
bisa kembali membebaskan Yerusalem dan seluruh Palestina dari tangan
Salib. Saat itu para Templar, Biarawan Sion, dan ksatria-ksatria lainnya
kembali ke Eropa setelah kalah perang di Palestina.
Ketika ini, Skotlandia dan Inggris, selain Perancis tentu saja,
menjadi tempat utama ‘konsolidasi’ para Templar dan yang lainnya. Untuk
membangkitkan Perang Salib kembali mereka gagal membujuk para raja dan
bangsawan Eropa, maka mereka bertekad akan memusatkan kegiatannya di
Eropa, dengan jalan menundukkan seluruh Eropa sehingga bisa dijadikan
‘rumah yang nyaman’ bagi keberadaan mereka, bebas dari gangguan Gereja.
Di abad pertengahan, Eropa memang menjadi pusat perdagangan dunia
dengan Perancis dan Inggris sebagai negara-negara besarnya yang kuat.
Untuk menguasai Eropa, maka tiada jalan lain, Inggris dan Perancis harus
dikuasai. Kekuasaan Monarki harus diakhiri dan digantikan dengan bentuk
Nasionalisme, yang nantinya akan bisa dengan mudah dibenturkan kembali
hingga mereka sibuk dengan urusannya sendiri dan sama sekali tidak
perduli dengan konspirasi purba yang telah dicanangkan berabad silam.
Inggris menjadi target pertama.
MENUNGGANGI REFORMASI GEREJA
Sebelum tahun 1517, Gereja Katolik bisa dianggap menguasai masyarakat
Eropa. Walau di sana-sini terdapat perbedaan pandangan dan juga
bertumbuhan sekte serta kelompok esoteris, namun kerajaan di Eropa
kebanyakan mengaku tunduk pada Vatikan.
Namun ketika seorang Martin Luther pada 31 Oktober 1517 mengeluarkan
95 pernyataannya yang pada zamannya dianggap begitu berani menentang
otoritas Kepausan, sebuah pernyataan protes—karena itu dikemudian hari
pengikut maupun gerakannya disebut Protestan—dipaparkan di muka umum dan
dalam waktu yang tidak lama, surat protesnya itu melahirkan satu
kelompok orang-orang Kristen yang mengaku memiliki kesamaan pandangan
dengan Luther, tidak puas dengan institusi Gereja dan Kepausan.
Selain Gerakan Protestan, muncul pula John Calvin yang menyuarakan
Calvinisme. Inilah dua gerakan reformasi dan gugatan terhadap otoritas
Gereja Katolik Roma. Awalnya sedikit, hanya dalam waktu singkat, jumlah
pengikut Luther maupun Calvin membengkak. Rakyat Inggris di mana gerakan
itu di mulai sudah banyak yang jenuh dengan otoritas Gereja Roma yang
telah berlangsung berabad lamanya.
Tanpa disadari banyak kalangan, mantan Templar yang sudah tersebar
dalam berbagai perkumpulan esoteris banyak yang menyusup dan bergabung
dengan gerakan reformasi gereja ini. Motivasinya jelas, mereka hendak
membalaskan dendam orangtua mereka yang telah dikejar-kejar dan dibasmi
oleh Paus, dan institusi pendukungnya. Gerakan reformasi gereja ini
dianggap sangat baik untuk dipakai sebagai ‘kuda tunggangan’. Maka
berbondong-bondonglah para mantan dan keturunan Templar bergabung ke
dalam kelompok gereja reformis.
Martin Luther terang terharu melihat betapa banyak orang yang
mendukung gerakannya. Ia semakin yakin bahwa apa yang disampaikannya, 95
nota protes kepada Gereja, merupakan suatu kebenaran. Belakangan
barulah dia tersadar bahwa di antara pengikutnya, ternyata banyak dari
kalangan pewaris Templar yang memiliki motivasi berbeda dengan dirinya,
dengan gerakan protesnya yang suci.
Para pewaris Templar ini bergabung ke dalam gerakan protes
semata-mata ingin membalaskan dendam para orangtua mereka terhadap
institusi Gereja Katolik. Martin Luther yang menyadari hal ini kemudian
bertindak tegas. Dia menghujat kaum Yahudi ini dan memerintahkan kepada
pengikutnya yang sejati agar tidak berhubungan dalam bentuk apa pun
dengan mereka, agar tidak termakan tipu daya orang-orang Yahudi
tersebut.
MENUNDUKKAN INGGRIS
Di suatu tempat di Belanda, sejumlah petinggi Ordo Kabbalah menggelar
pertemuan dan sepakat untuk menguasai Tahta Kerajan Inggris sepenuhnya
dengan cara menurunkan Dinasti Stuart dan menggantikannya dengan
seseorang yang mereka bina dari Dinasti Hanover dari Istana Nassau,
Bavaria. Kala itu, Tahta Kerajaan Inggris tengah diduduki King Charles
II (1660-1685). Raja Inggris ini masih kerabat dekat Duke of York. Mary
adalah anak sulung dari Duke of York.
Diam-diam, kelompok Kabbalah ini mengatur strategi agar Mary yang
masih lajang itu bertemu dengan ‘Sang Pangeran’ bernama William II,
salah seorang pangeran kerajaan Belanda dan pemimpin pasukan kerajaan.
Mary dan William II pun bertemu dan saling tertarik. Pada tahun 1674
mereka menikah. Tahun 1685 King Charles II meninggal dan digantikan oleh
James II yang memerintah sampai tahun 1688.
Dari
hasil perkawinan antara William II dan Mary, lahir seorang putera yang
kemudian dikenal sebagai William III, yang kemudian menikah dengan
seorang puteri dari King James II bernama Mary II. William III yang
berdarah campuran antara Dinasti Stuart dengan Dinasti Hanover ternyata
menurut kelaziman tidak bisa menjadi Raja Inggris disebabkan ia bukan
berasal dari garis keturunan laki-laki Inggris, melainkan dari garis
perempuan. Mary II, isterinyalah, yang lebih berhak menyandang gelar Queen.
Di sinilah para petinggi Yahudi melancarkan konspirasi dengan mengobarkan ‘Glorious Revolution’
dan akhirnya berkat Partai Whig yang melakukan kerjasama diam-diam
dengan tokoh-tokoh Yahudi dan Partai Tory yang bersikap pragmatis,
revolusi tanpa darah ini berhasil menaikkan William III sebagai Raja
Inggris.
Beberapa tahun sebelumnya, lewat tangan Oliver Cromwell, kekuatan
Yahudi juga telah ‘menyikat’ King Charles I dan menguasai
lembaga-lembaga keuangan di kerajaan itu. Dengan berkuasanya William III
maka Inilah awal hegemoni Dinasti Hanover bertahta di Kerajaan Inggris
sampai sekarang. Apalagi Dinasti Windsor yang berkuasa di Kerajaan
Inggris sekarang merupakan keturunan langsung dari King Edward III (Prince of Wales) yang merupakan keturunan Hanover.
Pada tahun 1689, King William III mendirikan Loyal Orange Order
yang begitu fanatik mendukung gerakan pembaruan Gereja yang dipimpin
Martin Luther. Ordo ini menyatakan dengan tegas akan menjadikan Inggris
sebagai basis bagi gerakan Protestan. Pernyataan ini memiliki pesan yang
jelas terhadap Gereja Katolik: “Kami akan melawanmu!” Loyal Orange Order sampai hari ini masih bertahan di Irlandia Utara dengan jumlah anggota tak kurang dari angka 100 ribuan.
Kelompok inilah yang senantiasa mengobarkan api permusuhan terhadap
kaum Katolik sehingga sampai sekarang kehidupan masyarakat di sana tidak
pernah sepi dari konflik Protestan-Katolik. King William III sendiri
menceburkan diri dalam peperangan melawan Perancis yang dihuni banyak
warga Katolik. Inggris menderita kerugian yang banyak. Utang pun
menumpuk. Inilah awal berdirinya Bank of England sebagai bank sentral swasta pertama di dunia, seperti yang telah disinggung di muka. (Bersambung/Rizki Ridyasmara)
EraMuslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar