Sangat
kebetulan, saat itu Kaisar Alexius Comnenus sangat memerlukan
pertolongan. Ia lalu teringat kejadian beberapa tahun sebelumnya, saat
itu serombongan ksatria dari Barat pimpinan Pangeran Robert de Flanders
kembali dari Palestina dan melewati Bizantium. Kaisar Comnenus merasa
sangat takjub melihat para ksatria ini yang diyakininya telah memiliki
pengalaman tempur yang memadai. Sebab itu, Kaisar Alexei Comnenus segera
melayangkan surat permintaan bala bantuan kepada Paus Urbanus II. Ia
memerlukan setidaknya 1200 orang pasukan.
Ketika surat permohonan bantuan dari Kaisar Alexei Comnenus sampai di tangannya, Paus Urbanus II sangat bergembira. Paus memang sejak lama memikirkan bagaimana upaya menyingkirkan ‘Paus’ saingannya dalam Controversi Investitur. Dengan adanya surat ini, maka terbukalah kesempatan Paus Urbanus II untuk mengirimkan pasukan perang ke timur. Didampingi Peter si Pertapa, Paus Urbanus II segera menggelar satu pertemuan di Aurillac, Perancis, dan dengan berapi-api Paus Urbanus II menyatakan bahwa sekaranglah saatnya bagi Dunia Kristen untuk mengangkat senjata memerangi Kesultanan Turki Seljuk.
Dalam pidatonya itu, Paus Urbanus II menggunakan kata-kata yang menggugah orang-orang Kristen Barat agar merebut kembali Yerusalem dari apa yang dikatakannya sebagai pendudukan oleh umat Islam yang dianggapnya kaum penyembah berhala, yang menyembelih orang-orang Kristen, dan menghancurkan gereja-gereja di Yerusalem. Semuanya ini sebenarnya dusta belaka. Iman Kristiani ditekankan.
Paus juga menjanjikan kepada siapa pun yang ikut dalam penyerangan angkatan salib akan menerima ampunan atas segala dosa mereka dan ‘mahkota’ yang besar dan agung di surga kelak jika terbunuh. Paus Urbanus II berkali-kali menegaskan hal itu di dan mengatakan jika itu semua ada di dalam tangannya sebagai pewaris Tahta Suci Santo Petrus.
Pidato Paus Urbanus II yang penuh hasutan itu segera disambut gegap-gempita oleh khalayak. Paus Urbanus II menyembunyikan maksud sebenarnya dari pidatonya tersebut yang sesungguhnya ingin menyingkirkan saingannya di Timur dan memasukkan Gereja Katolik Timur ke dalam kekuasaan Gereja Katolik Barat.
Selain itu, Paus Urban II juga menyadari bahwa orang-orang Eropa yang berada di wilayah Perancis, Inggris, Spanyol, Italia, dan sebagainya sesungguhnya telah jemu dengan konflik antar sesama, dengan para tuan tanah, dengan masyarakat feodal, dengan para perampok, dan lainnya. Orang Eropa sudah jemu dengan segalanya ini. Roda perekonomian pun berjalan statis karena jalur perdagangan ke kawasan Timur tersendat oleh keberadaan Gereja Katolik Bizantium.
“Mereka memerlukan musuh bersama,” demikian pikir Paus Urbanus II. Maka dengan ‘kata-kata berapi sedikit’ sudah cukup untuk membuat orang-orang Eropa ini bersatu untuk bersama-sama menyusuri selatan Eropa dan menyeberangi Lautan Tengah menuju Yerusalem.
Donald Queller, seorang professor sejarah dari Universitas Illinois-AS, menyatakan, “Ksatria-ksatria Perancis menginginkan lebih banyak tanah. Pedagang-pedagang Italia berharap untuk mengembangkan perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Timur Tengah… Sejumlah besar orang-orang miskin bergabung dengan ekspedisi sekadar untuk melarikan diri dari kerasnya kehidupan sehari-hari mereka.”[1]
Sepanjang jalan menuju Yerusalem, gerombolan yang serakah, buas, dan sama sekali tidak terorganisir dengan baik, ini melakukan perampokan dan pembunuhan terhadap orang-orang Yahudi dan Islam. Betapa serakahnya mereka kepada harta, mereka bahkan membelah perut-perut korbannya dengan pedang untuk menemukan emas dan permata yang menurut mereka mungkin sekali telah ditelan sebelum pergi berperang.
Bahkan karena keserakahannya ini, satu ironis dalam sejarah Perang Salib terjadi. Pasukan Salib ini tanpa sesal telah melakukan perampokan sebuah kota Kristen di Konstantinopel pada Perang Salib IV. Mereka masuk ke dalam gereja dan melucuti daun-daun emas dari lukisan-lukisan dinding Kristiani di Gereja Hagia Sophia, sebuah Gereja Kristen Byzantium. Beberapa benda berharga yang biasa dipakai saat kebaktian pun diambil mereka. Gereja pun ditinggalkan dalam keadaan hancur porak-poranda.
Pada tahun 1097, sekitar 150.000 orang, sebagian dari Jerman dan Normandia, dikerahkan dalam tiga angkatan di bawah pimpinan Godfroi de Bouillon, Raja Bohemond, dan Raja Raymond. Mereka bertemu di Konstantinopel. Ketika Godfroi de Bouillon berangkat ke Yerusalem, dirinya ditemani sekelompok orang tak dikenal yang bukan sekadar tentara tetapi juga berperan sebagai penasihat dan administrator.
Untuk menggalang lebih banyak pasukan perang, Paus Urbanus II menyerukan kepada kaum sekular Eropa untuk bergabung dengan mereka. Selain janji-janji surga, Paus juga menjamin Gereja akan melindungi kekayaan para bangsawan selama kepergian mereka ke Yerusalem. Namun barangsiapa ada yang tidak mau menunaikan tugas ini, maka Gereja akan menghukum mereka.
Angkatan Perang Salib I ini terdiri dari tiga kelompok: Kelompok pertama dipimpin Godfroi of Bouillon dari Lorraine dan saudaranya, Baldwin. Godfroi ini berdarah Yahudi dan ada yang menyebutkan bahwa Godfroi memeluk agama Kristen hanya sebagai upaya menyelamatkan diri agar tidak dikejar-kejar oleh Gereja. Kelompok kedua dipimpin Bohemond dari Normandia.
Malah ada pula keterangan bahwa Godfroi ini sesungguhnya merupakan seseorang yang diutus Majelis Tinggi Ordo Kabbalah untuk menguasai Yerusalem. Pasukan yang ketiga dipimpin Raymond IV dari Province, Perancis yang didampingi utusan pribadi Paus, Uskup Adheman. Raymond juga mengingatkan Paus akan pentingnya bantuan angkatan laut dari Genoa. Paus Urbanus II kemudian mengirim surat kepada Genoa dan segera mengirimkan sekitar duabelas kapal perang untuk mendukung pergerakan angkatan Salib ini.
John J. Robinson[2] sependapat dengan Donald E. Queller yang menyatakan tidak sepenuhnya motivasi orang Kristen pergi berperang adalah semata didasari iman Kristiani. Namun lebih didasari oleh tuntutan ekonomi dan mencari penghidupan yang lebih baik. Robinson malah menyinggung tentang Pangeran Emich von Leiningen, seorang Kristen yang taat karena di tubuhnya terdapat tanda lahir yang menyerupai tanda salib.
“Daging tubuh ini berasal dari ilahiah,” demikian Emich. Dalam perjalanannya menuju Yerusalem, pada bulan Mei 1096 Emich dan pasukannya melewati kota kecil Worms yang banyak dihuni orang Yahudi. Mereka melakukan perampokan terhadap rumah-rumah itu dan terhadap orang Yahudi yang tidak mau masuk Kristen maka mereka langsung membunuhinya. Sebelumnya, Emich juga telah melakukan hal yang sama di kota Speyer. “Merekalah kaum yang bertangungjawab atas kematian dan penyaliban Yesus, karena itu mereka pantas untuk mati atau bertaubat menjadi Kristen,” demikian Robinson mengutip pernyataan Emich.
Konstantinopel merupakan kota tempat bertemunya ketiga pasukan salib ini. Kaisar Alexius Comnenus menyatakan semuanya harus tunduk padanya. Awalnya Godfroi dan Raymond menentangnya, namun akhirnya menyepakati hal itu.
Pada permulaan 1097 tentara Salib mulai menyeberangi Selat Bosphorus bagai air bah. Mereka berkemah di Asia Kecil yang saat itu dikuasai Dinasti Seljuk, Asley Arsalan. Mula-mula mereka mengepung pelabuhan Nicea selama sebulan sampai jatuh ke tangan tentara Salib pada 18 Juni 1097.
Ini berarti Bizantium telah merebut kembali apa yang telah dikuasai dari Antiokia selama enam tahun. Tentara Bizantium di bawah pimpinan Kaisar Comnenus mengadakan perundingan dengan penguasa kaum Muslimin seputar penyerahan kota itu kepadanya, dengan jaminan muslim Turki akan diselamatkan. Ini mengejutkan tentara Salib karena didahului oleh kelihaian Kaisar Bizantium ini.
Tentara Salib terus maju. Pertempuran di Darylaeum meluas ke tenggara Nicea sampai akhir 1097. Tentara Salib meraih kemenangan karena Seljuk dalam kondisi lemah. Mereka berhasil memasuki selatan Anatolia dan Provinsi Torres. Di bawah pimpinan King Baldwin I, mereka mengepung Ruha yang penduduk Armenianya beragama Kristen. Rajanya, Turus, telah melantik Baldwin untuk menggantikannya setelah ia mati, sehingga Baldwin dapat menaklukan Ruha pada tahun 1098.
Bohemond menaklukan Antiokia, ibu kota lama Bizantium, pada tanggal 3 Juni 1098 setelah susah payah mengepungnya selama sembilan bulan. Antiokia termasuk benteng yang sangat kuat karena secara geografis sangat strategis dengan gunung-gunungnya yang mengelilingi sebelah utara dan timur, dan sungai yang membatasinya. Jatuhnya Antiokia dari kekuasaan Dinasti Seljuk disebabkan oleh berpecah-belah dan lambatnya bantuan dari Persia, serta terjadinya pengkhianatan di dalam Antiokia sendiri di mana orang Armenia yang Kristen ternyata memihak angkatan Salib. Bantuan logistik dan perlengkapan dari Inggris dan armada laut Genoa yang tiba di pelabuhan Suwaida semakin memperkuat tentara Salib. (Bersambung/Rizki Ridyasmara)
[1] World Book Encyclopedia; Crusade; Donald E. Queller, Ph.D, Contributor; World Book; 1998.
[2] John J. Robinson; Born in Blood: The Lost Secrets of the Freemasonry; M. Evans & Co; NY; 1989.
EraMuslim
Ketika surat permohonan bantuan dari Kaisar Alexei Comnenus sampai di tangannya, Paus Urbanus II sangat bergembira. Paus memang sejak lama memikirkan bagaimana upaya menyingkirkan ‘Paus’ saingannya dalam Controversi Investitur. Dengan adanya surat ini, maka terbukalah kesempatan Paus Urbanus II untuk mengirimkan pasukan perang ke timur. Didampingi Peter si Pertapa, Paus Urbanus II segera menggelar satu pertemuan di Aurillac, Perancis, dan dengan berapi-api Paus Urbanus II menyatakan bahwa sekaranglah saatnya bagi Dunia Kristen untuk mengangkat senjata memerangi Kesultanan Turki Seljuk.
Dalam pidatonya itu, Paus Urbanus II menggunakan kata-kata yang menggugah orang-orang Kristen Barat agar merebut kembali Yerusalem dari apa yang dikatakannya sebagai pendudukan oleh umat Islam yang dianggapnya kaum penyembah berhala, yang menyembelih orang-orang Kristen, dan menghancurkan gereja-gereja di Yerusalem. Semuanya ini sebenarnya dusta belaka. Iman Kristiani ditekankan.
Paus juga menjanjikan kepada siapa pun yang ikut dalam penyerangan angkatan salib akan menerima ampunan atas segala dosa mereka dan ‘mahkota’ yang besar dan agung di surga kelak jika terbunuh. Paus Urbanus II berkali-kali menegaskan hal itu di dan mengatakan jika itu semua ada di dalam tangannya sebagai pewaris Tahta Suci Santo Petrus.
Pidato Paus Urbanus II yang penuh hasutan itu segera disambut gegap-gempita oleh khalayak. Paus Urbanus II menyembunyikan maksud sebenarnya dari pidatonya tersebut yang sesungguhnya ingin menyingkirkan saingannya di Timur dan memasukkan Gereja Katolik Timur ke dalam kekuasaan Gereja Katolik Barat.
Selain itu, Paus Urban II juga menyadari bahwa orang-orang Eropa yang berada di wilayah Perancis, Inggris, Spanyol, Italia, dan sebagainya sesungguhnya telah jemu dengan konflik antar sesama, dengan para tuan tanah, dengan masyarakat feodal, dengan para perampok, dan lainnya. Orang Eropa sudah jemu dengan segalanya ini. Roda perekonomian pun berjalan statis karena jalur perdagangan ke kawasan Timur tersendat oleh keberadaan Gereja Katolik Bizantium.
“Mereka memerlukan musuh bersama,” demikian pikir Paus Urbanus II. Maka dengan ‘kata-kata berapi sedikit’ sudah cukup untuk membuat orang-orang Eropa ini bersatu untuk bersama-sama menyusuri selatan Eropa dan menyeberangi Lautan Tengah menuju Yerusalem.
Donald Queller, seorang professor sejarah dari Universitas Illinois-AS, menyatakan, “Ksatria-ksatria Perancis menginginkan lebih banyak tanah. Pedagang-pedagang Italia berharap untuk mengembangkan perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Timur Tengah… Sejumlah besar orang-orang miskin bergabung dengan ekspedisi sekadar untuk melarikan diri dari kerasnya kehidupan sehari-hari mereka.”[1]
Sepanjang jalan menuju Yerusalem, gerombolan yang serakah, buas, dan sama sekali tidak terorganisir dengan baik, ini melakukan perampokan dan pembunuhan terhadap orang-orang Yahudi dan Islam. Betapa serakahnya mereka kepada harta, mereka bahkan membelah perut-perut korbannya dengan pedang untuk menemukan emas dan permata yang menurut mereka mungkin sekali telah ditelan sebelum pergi berperang.
Bahkan karena keserakahannya ini, satu ironis dalam sejarah Perang Salib terjadi. Pasukan Salib ini tanpa sesal telah melakukan perampokan sebuah kota Kristen di Konstantinopel pada Perang Salib IV. Mereka masuk ke dalam gereja dan melucuti daun-daun emas dari lukisan-lukisan dinding Kristiani di Gereja Hagia Sophia, sebuah Gereja Kristen Byzantium. Beberapa benda berharga yang biasa dipakai saat kebaktian pun diambil mereka. Gereja pun ditinggalkan dalam keadaan hancur porak-poranda.
Pada tahun 1097, sekitar 150.000 orang, sebagian dari Jerman dan Normandia, dikerahkan dalam tiga angkatan di bawah pimpinan Godfroi de Bouillon, Raja Bohemond, dan Raja Raymond. Mereka bertemu di Konstantinopel. Ketika Godfroi de Bouillon berangkat ke Yerusalem, dirinya ditemani sekelompok orang tak dikenal yang bukan sekadar tentara tetapi juga berperan sebagai penasihat dan administrator.
Untuk menggalang lebih banyak pasukan perang, Paus Urbanus II menyerukan kepada kaum sekular Eropa untuk bergabung dengan mereka. Selain janji-janji surga, Paus juga menjamin Gereja akan melindungi kekayaan para bangsawan selama kepergian mereka ke Yerusalem. Namun barangsiapa ada yang tidak mau menunaikan tugas ini, maka Gereja akan menghukum mereka.
Angkatan Perang Salib I ini terdiri dari tiga kelompok: Kelompok pertama dipimpin Godfroi of Bouillon dari Lorraine dan saudaranya, Baldwin. Godfroi ini berdarah Yahudi dan ada yang menyebutkan bahwa Godfroi memeluk agama Kristen hanya sebagai upaya menyelamatkan diri agar tidak dikejar-kejar oleh Gereja. Kelompok kedua dipimpin Bohemond dari Normandia.
Malah ada pula keterangan bahwa Godfroi ini sesungguhnya merupakan seseorang yang diutus Majelis Tinggi Ordo Kabbalah untuk menguasai Yerusalem. Pasukan yang ketiga dipimpin Raymond IV dari Province, Perancis yang didampingi utusan pribadi Paus, Uskup Adheman. Raymond juga mengingatkan Paus akan pentingnya bantuan angkatan laut dari Genoa. Paus Urbanus II kemudian mengirim surat kepada Genoa dan segera mengirimkan sekitar duabelas kapal perang untuk mendukung pergerakan angkatan Salib ini.
John J. Robinson[2] sependapat dengan Donald E. Queller yang menyatakan tidak sepenuhnya motivasi orang Kristen pergi berperang adalah semata didasari iman Kristiani. Namun lebih didasari oleh tuntutan ekonomi dan mencari penghidupan yang lebih baik. Robinson malah menyinggung tentang Pangeran Emich von Leiningen, seorang Kristen yang taat karena di tubuhnya terdapat tanda lahir yang menyerupai tanda salib.
“Daging tubuh ini berasal dari ilahiah,” demikian Emich. Dalam perjalanannya menuju Yerusalem, pada bulan Mei 1096 Emich dan pasukannya melewati kota kecil Worms yang banyak dihuni orang Yahudi. Mereka melakukan perampokan terhadap rumah-rumah itu dan terhadap orang Yahudi yang tidak mau masuk Kristen maka mereka langsung membunuhinya. Sebelumnya, Emich juga telah melakukan hal yang sama di kota Speyer. “Merekalah kaum yang bertangungjawab atas kematian dan penyaliban Yesus, karena itu mereka pantas untuk mati atau bertaubat menjadi Kristen,” demikian Robinson mengutip pernyataan Emich.
Konstantinopel merupakan kota tempat bertemunya ketiga pasukan salib ini. Kaisar Alexius Comnenus menyatakan semuanya harus tunduk padanya. Awalnya Godfroi dan Raymond menentangnya, namun akhirnya menyepakati hal itu.
Pada permulaan 1097 tentara Salib mulai menyeberangi Selat Bosphorus bagai air bah. Mereka berkemah di Asia Kecil yang saat itu dikuasai Dinasti Seljuk, Asley Arsalan. Mula-mula mereka mengepung pelabuhan Nicea selama sebulan sampai jatuh ke tangan tentara Salib pada 18 Juni 1097.
Ini berarti Bizantium telah merebut kembali apa yang telah dikuasai dari Antiokia selama enam tahun. Tentara Bizantium di bawah pimpinan Kaisar Comnenus mengadakan perundingan dengan penguasa kaum Muslimin seputar penyerahan kota itu kepadanya, dengan jaminan muslim Turki akan diselamatkan. Ini mengejutkan tentara Salib karena didahului oleh kelihaian Kaisar Bizantium ini.
Tentara Salib terus maju. Pertempuran di Darylaeum meluas ke tenggara Nicea sampai akhir 1097. Tentara Salib meraih kemenangan karena Seljuk dalam kondisi lemah. Mereka berhasil memasuki selatan Anatolia dan Provinsi Torres. Di bawah pimpinan King Baldwin I, mereka mengepung Ruha yang penduduk Armenianya beragama Kristen. Rajanya, Turus, telah melantik Baldwin untuk menggantikannya setelah ia mati, sehingga Baldwin dapat menaklukan Ruha pada tahun 1098.
Bohemond menaklukan Antiokia, ibu kota lama Bizantium, pada tanggal 3 Juni 1098 setelah susah payah mengepungnya selama sembilan bulan. Antiokia termasuk benteng yang sangat kuat karena secara geografis sangat strategis dengan gunung-gunungnya yang mengelilingi sebelah utara dan timur, dan sungai yang membatasinya. Jatuhnya Antiokia dari kekuasaan Dinasti Seljuk disebabkan oleh berpecah-belah dan lambatnya bantuan dari Persia, serta terjadinya pengkhianatan di dalam Antiokia sendiri di mana orang Armenia yang Kristen ternyata memihak angkatan Salib. Bantuan logistik dan perlengkapan dari Inggris dan armada laut Genoa yang tiba di pelabuhan Suwaida semakin memperkuat tentara Salib. (Bersambung/Rizki Ridyasmara)
[1] World Book Encyclopedia; Crusade; Donald E. Queller, Ph.D, Contributor; World Book; 1998.
[2] John J. Robinson; Born in Blood: The Lost Secrets of the Freemasonry; M. Evans & Co; NY; 1989.
EraMuslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar