Eramuslim.com
– Setelah menerima surat itu, maka Rabi Shamur diam-diam melakukan
sosialisasi ‘perintah Rabi Tertinggi Konstantinopel’ tersebut dan
setelah itu banyak orang-orang Yahudi yang bersedia dibaptis dan memeluk
agama Kristen. Mereka juga memasuki gereja dan bahkan beberapa tahun
kemudian menjadi gembala sidang dari sejumlah gereja di Perancis. Kaum
Yahudi, dan dengan sendirinya para Freemason, akhirnya memiliki ‘agama
resmi’ atau ‘agama legal’ mereka yakni Kristen Katolik.
Abad itu, siapa pun yang ingin bebas bergerak, ingin aman dalam
hidupnya, tentunya di Eropa, maka ia haruslah menjadi seorang pengikut
Gereja Katolik Roma. Maka, dengan alasan-alasan strategis demi mencapai
tujuannya yang disembunyikan rapat-rapat, mereka kini mengenakan baju
Gereja dan larut dalam komune masyarakat Eropa abad pertengahan yang
dipenuh histeria pergolakan dan keimanan.
Di dasar permukaan bumi yang paling dalam, sebuah keyakinan abadi
tetap terpelihara. Dan mereka sangat yakin, suatu waktu keyakinan abadi
ini akan muncul di permukaan dan meremukkan segala macam baju yang
dikenakannya. Itulah masa di mana mereka merasa sudah sedemikian kuat,
semua musuhnya sudah dilumpuhkan dan ditaklukkan.
Suatu masa di mana segala kerahasiaan akan mereka singkap dan mereka
akan tunjukkan pada dunia siapa diri mereka sebenarnya. Suatu hari yang
pasti terjadi.
GRAND LODGE OF ENGLAND
Sekitar 70 tahun setelah penumpasan para Templar, di tahun 1381
meletus pemberontakan Petani di Inggris yang digerakkan oleh sebuah
organisasi rahasia yang oleh para peneliti diduga kuat dilakukan para
Mason (pelarian Templar) sebagai bagian dari upaya Mason menyerang
institusi Gereja Katolik.
Setengah abad kemudian, seorang Pastor Bohemia bernama John Huss
menggerakkan kembali pemberontakan melawan Gereja Katolik. Lagi-lagi, di
balik pemberontakan ini berdiri para Mason yang dipenuhi amarah dan
dendam kesumat. Seorang Rabi bernama Avigdor Ben Isaac Kara menyebarkan
doktrin Kabbalah di Praha.
Penyebaran doktrin Kabbalah di Inggris dan juga Eropa pada umumnya,
menyebabkan tumbuhnya kelompok-kelompok “pemikir bebas” yang tidak lagi
menerima begitu saja segala penafsiran Injil dari Tahta Suci Kepausan di
Vatikan. Mereka merasa bebas menafsirkan Injil sekehendak hati mereka
dan menjadikan ayat-ayat dalam Injil sebagai alat untuk melegalkan
tindakan-tindakan mereka yang seringkali malah bertentangan dengan
ajaran Yesus sendiri.
Kelompok-kelompok ini berpusat pada organisasi Freemason. Timbullah
berbagai isme-isme di Eropa yang hingga hari ini masih saja hidup dalam
berbagai lapisan masyarakat. Di antaranya adalah Humanisme, Darwinisme,
dan Materialisme, yang kemudian mengkristal menjadi Kapitalisme,
Komunisme, dan dengan segala variannya. Semua isme-isme tersebut
sesungguhnya berasal dari satu sumber, satu ajaran, dan satu doktrin:
Kabbalah.
Banyak tokoh-tokoh intelektual dan cendekiawan di Eropa pada masa ini
yang berasal dari kelompok Freemason. Mereka secara rapi, sistematis,
dan giat berupaya menghancurkan Gereja dan berupaya merekonstruksi
Gereja sesuai dengan kehendak mereka. Salah satu peninggalan para
Templar atau Mason di Inggris ini adalah lambang bendera nasional
Inggris yang diadopsi dari Salib Merah para Templar.
Sejarah mencatat, pada tahun 1640 hingga 1660 terjadi apa yang
dinamakan sebagai Revolusi Inggris. Hanya saja sejarah dunia tidak
pernah secara terbuka menyebutkan bahwa revolusi ini sesungguhnya
merupakan hasil karya dari para Freemason yang bekerja di belakang
layar. Konspirasi para Mason di dalam menggelorakan Revolusi Inggris dan
memperdaya Oliver Cromwell akan dibahas kemudian.
Ketika asap revolusi belum sirna, pada tahun 1662, mereka mendirikan The Royal Society yang bergerak di bidang pengumpulan dan penyebaran ilmu pengetahuan. The Royal Society merupakan nama resmi dari Invisible College-nya
(Kampus Rahasia) kaum Freemasonry yang telah dibentuk pada tahun 1645.
Setahun kemudian, 1646, seorang tokoh alkemi Yahudi bernama Elias
Ashmole masuk ke dalam lingkaran ini dan menjadi pemimpinnya. Ashmole
yang juga dikenal sebagai anggota Rosikrusian ini kemudian mendirikan
Ashmolean Museum di Oxford, Inggris.
Di masa-masa itu, kelompok Mason secara rahasia juga memprovokasi
King Willaim III agar melibatkan Inggris ke dalam peperangan melawan
Perancis yang mayoritas rakyatnya memeluk Katolik. Perang pun
berlangsung dan Inggris menderita banyak kerugian. Dana perang yang
terpakai begitu besar dan menyebabkan utang yang menggunung.
Untuk menyehatkan posisi keuangan kerajaan, King William III akhirnya
mengajukan pinjaman uang kepada para bankir Yahudi yang sebelumnya
memang memiliki hubungan baik dengannya, antara lain mendukung dirinya
untuk berkuasa di tahta kerajaan Inggris.
Peperangan, kerugian, dan pinjaman uang dalam jumlah besar sebenarnya
memang telah direncanakan secara matang oleh kelompok Mason ini. Mereka
memberikan utang kepada King William III sebesar £1.250.000 dengan
sejumlah syarat yang amat mengikat kerajaan. Salah satu syarat adalah
merahasiakan nama-nama bankir Yahudi yang telah ‘bermurah hati’
memberikan utang.
Selain itu, mereka juga mengajukan syarat bahwa mereka diperbolehkan
mendirikan Bank Sentral Inggris. King William III tidak bisa berbuat
banyak selain tunduk pada syarat-syarat yang diajukan mereka. Akhirnya
pada 27 Juli 1694 mereka mendirikan ‘Bank of England’ yang merupakan bank sentral swasta pertama di dunia.
Belum cukup dengan itu, para bankir Yahudi yang diberi kewenangan
untuk mengendalikan bank sentral ini juga merasa berwenang untuk
menetapkan standar emas terhadap nilai uang kertas, hak untuk meminjam
£10 uang kertas atas setiap pon emas yang disimpan di bank sentral
tersebut sebagai modal bagi bisnis perbankan mereka, dan sebagainya.
Bisnis ribawi (usury) yang berasal dari bisnis kaum Templar
tersebut akhirnya membuat mereka menjadi berkuasa dan mempunyai pengaruh
politis dan ekonomis yang sangat kuat terhadap kerajaan.
Apakah kerajaan Inggris tertolong dengan mengizinkan mereka
mendirikan bank sentral swasta? Ternyata tidak. Pada tahun 1694, saat
didirikan bank sentral Inggris, utang kerajaan Inggris tercatat sebesar
£1.250.000, dan dalam kurun waktu empat tahun—karena pembebanan
bunga—membengkak menjadi £16.000.000 atau lebih dari 13 kali lipat!
“Inilah catatan sejarah pertama kali tentang penjarahan besar-besaran
uang rakyat sebuah negara melalui skema perbankan yang sama sekali
tidak disadari oleh para petinggi negara yang bersangkutan,” demikian
Indra Adil, seorang peneliti sejarah Zionisme.[1]
Secara resmi, Freemasonry sebenarnya ‘diproklamirkan’ di Inggris pada 24 Juni 1717, dengan diresmikannya Grand Lodge of England
sebagai basis utama kegiatannya. Walau kegiatan para Mason di Inggris
itu sudah berlangsung sebelumnya. Ini adalah tanggal Hari Raya Yohanes
Pembaptis. Kala itu, Skotlandia sudah menjadi bagian dari The Great Britain (tahun 1707). Disebabkan organisasi ini menjadi tempat pertemuan para pemikir bebas (Freethinkers) dalam penentangannya terhadap Gereja Katolik, agama mayoritas saat itu, sangat mungkin dari istilah Freethinkers inilah anggota Mason lalu disebut Freemason.
Pertemuan-pertemuan ini tidak hanya diisi oleh diskusi, tukar
pikiran, dan makan-makan dengan jamuan mewah, tetapi sudah masuk ke
dalam rencana aksi dan konspirasi untuk menggoyahkan institusi Gereja
Katolik. Mereka juga mulai menyusun kekuatan ril dan mempengaruhi
institusi-institusi dan tokoh-tokoh Eropa lainnya yang dianggap bisa
diajak bekerjasama.
Paruh kedua abad ke-19, Masonry sudah mulai menyebar ke luar
batas-batas Eropa dan menyebarkan paham anti agamanya. Paus sendiri pada
tahun 1738 dan 1751 menyatakan Freemasonry merupakan organisasi yang
tidak bertuhan dan para anggotanya dinyatakan sebagai atheis atau
minimal agnostik, orang yang tidak perduli dengan agama.
Salah satu gambaran yang paling banyak diambil para penulis mengenai
kegiatan para Mason di Inggris pada pertengahan abad ke-18 adalah ritual
sebuah kelompok Mason yang disebut Klub Api Neraka (The Hell-Fire Club).
Daniel Willens yang meneliti organisasi-organisasi Mason di Inggris
pada abad pertengahan ini menggambarkan secara cermat sebuah ritual yang
dilakukan kelompok ini.[2] (Bersambung/Rizki Ridyasmara)
———————————
[1] Indra Adil; Konspirasi Di Balik Tragedi Diana; Barani Press; cet.1; 2002; hal. 42.
[2] Daniel Willens; Hell-Fire Club: Sex, Politics, and Religion in Eighteen-Century in England (article).
EraMuslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar