"Kopi Luwak" yang baru keluar dari dubur Luwak
Dulu pernah ada tebak-tebakan di sebuah acara radio di
Magelang.
Penyiar A: “Hayo, kenapa Bebek Goreng itu kok enak?”
Penyiar B: “Sebab dagingnya empuk. Kulitnya gurih!”
Penyiar A: “Bener, ning kurang pas.”
Penyiar B: “Lha terus apa?”
Penyiar A: “Bebek Goreng itu enak sebab ada ‘b’nya.”
Penyiar B: “Lha kok?”
Penyiar A: “Coba kalau nggak ada ‘b’nya, jadinya Eek Goreng,
ya tho. Enak ora?”
Penyiar B: “Gundulmu!”
Itu dulu. Sekarang Eek Goreng banyak
yang nyari. Harganya mungkin tambah mahal sejak difatwa halal oleh MUI! Eek
goreng yang mana? Itu lho, biji kopi luwak yang ada di eeknya luwak. Setelah
dibersihkan, dijemur, digoreng (sangrai), ditumbuk, dipisahkan kulitnya,
diseduh dengan air panas, terus diminum. Uenak tenan! Kata yang pernah nyicipin
eek goreng model ini.
Sebenarnya saya ogah komentar soal eek goreng model ini.
Dikomentari atau tidak, toh yang menikmati eek goreng ini hanya segelintir
orang yang duitnya tebel. Tapi, karena khawatir fatwa ini menjadi preseden
peng-halal-an eek-eek yang lain, maka mau tidak mau saya kudu komentar
membantah kekeliruan-kekeliruan yang berujung pada kesimpulan kopi luwak itu
jadi halal.
Pengibaratan
mutanajis yang salah
Komisi Fatwa MUI berusaha membuat opini bahwa biji kopi yang
dimakan luwak tidak terpengaruh apapun dalam perjalanannya dari mulut,
pencernaan hingga keluar dari dubur luwak. Kekerasan kulit biji kopi
diibaratkan dengan kekerasan cincin emas atau berlian. Lalu dimunculkan
pertanyaan yang pasti sudah diketahui masyarakat jawabannya. ”Jika cincin emas
tertelan oleh manusia, lalu keluar melalui dubur. Apakah cincin emas itu jadi
najis atau mutanajis (hanya terkena najis)?” Tentu orang awam pun akan menjawab
cincin itu mutanajis. Masalahnya adalah pengibaratan yang dipakai itu salah.
Pertama, cincin emas, berlian adalah benda-benda dengan
kekerasan sangat tinggi yang tidak terpengaruh sedikitpun oleh proses
pencernaan manusia. Masuk emas keluar emas. Hanya dengan panas yang sangat
tinggi emas apalagi berlian bisa terpengaruh dan leleh. Suhu tubuh manusia
tidak akan mempengaruhi emas dan berlian. Sehingga ketika masuk pencernaan dan
terkena kotoran manusia, emas dan berlian terkategori mutanajis.
Kedua, cincin emas dan berlian bukanlah benda-benda yang
menjadi makanan luwak. Silakan taruh cincin emas atau berlian di depan luwak.
Apakah ia akan memakannya? Tapi coba taruh anak ayam di depan luwak. Langsung
dia santap! Nah, tulang-tulang ayam yang keluar dari dubur luwak (jika ada)
bisa dijadikan pengibaratan dengan biji kopi yang tidak tercerna. Menurut anda,
tulang ayam itu najis atau mutanajis?
Rasa
dan aroma kopi Luwak berubah
Saya tidak pernah mencicipi kopi luwak. Tapi menurut
orang-orang yang pernah mencicipinya, rasa kopi luwak uenak tenan! Rasanya beda
dengan kopi biasa. Aromanya juga lebih harum. Apakah karena kopinya hanya dari
kopi yang masak yang kulit buahnya berwarna merah? Tentu tidak. Kopi luwak jadi
beda rasanya karena mengalami proses fermentasi dalam perut luwak. Walaupun
tidak tercerna dan melewati perut luwak hanya sebentar, biji kopi sebelum masuk
ke mulut dan pencernaan luwak berbeda rasanya dengan biji kopi yang keluar dari
dubur luwak. Biji kopi yang keluar dari dubur luwak ini aromanya lebih harum
(seperti harum daun pandan), rasanya lebih pahit dan lebih asam. Begitu kata
yang pernah nyicipin kopi luwak. Kira-kira Komisi Fatwa MUI ikut nyicipi kopi
luwak nggak ya? Nah, menurut anda, jika rasa dan aroma biji kopi telah berubah,
apakah hanya mutanajis atau sudah najis? Tentu saja sudah menjadi feces alias
eek alias tahi yang terkategori najis.
Biji
yang tumbuh dari eek binatang
Opini lain yang dikembangkan oleh Komisi Fatwa MUI adalah
”jika biji yang keluar dari perut binatang itu bisa tumbuh, maka biji itu tidak
najis”. Wow!
Opini ini tentu akan jadi bahan tertawaan orang-orang
pertanian. Bocah angon (anak gembala) sekalipun akan geli mendengarnya. Kenapa?
Karena banyak sekali biji-biji tumbuhan yang dimakan oleh burung atau mamalia,
kemudian dikeluarkan melalui dubur binatang-binatang itu, justru lebih mudah
tumbuh. Kenapa lebih mudah tumbuh? Karena pencernaan binatang-binatang itu
memang diciptakan Allah sang Maha Pencipta untuk memecah dormansi biji-biji
sehingga menjadi benih-benih yang siap tumbuh ketika keluar dari dubur
binatang. Itulah sebabnya burung-burung dan mamalia (termasuk luwak) banyak
menjadi penyebar alami bagi tumbuhan. Sekali-kali jika anda jalan-jalan ke desa
dan bertemu dengan eek sapi (dalam bahasa Jawa disebut tlethong), cobalah
perhatikan, dalam lima hari adakah di antara eek-eek itu tumbuh biji
rerumputan? Sayangnya biji-biji di tlethong itu harganya murah. Coba kalau
sangat mahal, mungkin akan difatwa halal (oleh kapitalis dan antek-anteknya).
Luwak
alias musang
Di masyarakat Surabaya luwak alias musang ini memiliki image
yang kurang baik. Kalau ada orang yang meledek temennya, dia memakai ungkapan:
“Ooo… raimu kaya luwak!” (wajahmu seperti musang). Secara umum di masyarakat
Indonesia pun, luwak atau musang sering dianggap sebagai hewan pencuri. Kalau
ada ayam hilang, biasanya hewan yang lincah dan aktif di malam hari ini
langsung jadi tertuduh. Sebutan “musang berbulu domba” dipakai untuk penjahat
yang pura-pura baik pada kita.
Kehalalan mamalia liar pemakan aneka
buah dan hewan kecil ini diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian
menghukuminya halal berdasar hadits: Dari Ibnu Abi Ammar berkata: ”Aku pernah bertanya
kepada Jabir tentang musang, apakah ia termasuk hewan buruan?” Jawabnya: ”Ya”.
Lalu aku bertanya: ”Apakah boleh dimakan?” Beliau menjawab: ”Ya”. Aku bertanya
lagi: ”Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah saw?” Jawabnya: ”Ya.” (HR.
Abu Dawud, Tirmidzi, dan an-Nasa’i).
Sebagian lagi menghukuminya haram dikonsumsi berdasarkan hadits: Dari Abu
Hurairah dari Nabi saw bersabda: ”Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram
dimakan.” (HR. Muslim dan Tirmidzi).
Wallaahu a’lamu.
Haram
menjual kopi Luwak
Asy-Syaikh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, seorang mujtahid
yang tinggal di Indonesia, menegaskan bahwa biji kopi yang keluar dari
dubur luwak adalah najis sebagaimana najisnya biji-biji yang tidak tercerna
yang keluar dari dubur manusia.
Sekedar mengingatkan, bahwa kotoran binatang alias eek hewan
adalah najis sebagaimana kotoran manusia.
Dari
Ibnu Mas’ud, ia berkata: Nabi saw pergi ke tempat buang air besar, lalu beliau
memerintahkanku agar membawa tiga buah batu. Aku temukan dua buah batu, dan aku
mencari yang ketiga, tetapi aku tidak menemukannya. Kemudian aku mengambil tahi
kering, lalu aku berikan kepada beliau. Beliau mengambil dua buah batu dan
membuang tahi tersebut, dan beliau bersabda: ”Sesungguhnya ini adalah najis.” (HR. Ahmad, Bukhari, Tirmidzi, dan
Nasa’i)
Dari pemahaman saya terhadap biji kopi, proses fermentasi
dalam pencernaan luwak, adanya lendir harum di sekitar dubur luwak, perubahan
rasa dan aroma biji kopi yang keluar dari dubur luwak, maka saya menyimpulkan
bahwa kopi luwak termasuk kotoran luwak, sehingga terkategori najis dan bukan
mutanajis. Oleh karena itu haram juga penjualannya.
Rasulullah saw bersabda: “Dan sesungguhnya Allah
apabila mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka haram pula bagi
mereka hasil penjualannya.” (HR
Imam Ahmad dan Abu Dawud)
Jadi juallah kopi yang tidak keluar dari binatang. Insya
Allah tetap enak, barakah, dan pasti halal. Halal kopinya, halal duitnya.
Biarlah
untuk makanan jin
Tak ada yang sia-sia apa yang diciptakan Allah. Kotoran
Luwak, termasuk di dalamnya biji-biji kopi luwak, akan menjadi makanan bagi
makhluq Allah yang lain, yaitu Jin.
Dari
Abu Hurairah, bahwa ia pernah membawakan bejana Nabi saw untuk wudhu` dan
bersuci. Tetapi tiba-tiba waktu ia mengikuti Nabi saw tersebut, Nabi saw
bertanya: ”Siapa ini?” Abu Hurairah menjawab: ”Aku Abu Hurairah.” Lalu Nabi saw
bersabda: ”Carikan aku batu-batu untuk aku pakai bercebok, tetapi jangan engkau
membawakan tulang dan kotoran untukku.” Lalu aku memberikan kepada Nabi saw
batu-batu yang aku membawanya dengan ujung bajuku, sehigga kuletakkan di
samping beliau. Kemudian kutinggal pergi. Ketika beliau selesai (buang air) aku
datang kepada beliau. Kemudian aku bertanya: ”Mengapa tulang dan kotoran itu
tidak boleh?” Nabi saw menjawab: ”Keduanya adalah makanan jin. Dan sungguh utusan
jin datang kepadaku yang berpangkat – mereka itu adalah sebaik-baik jin – lalu
mereka minta bekal kepadaku, kemudian aku memohon kepada Allah untuk mereka
kiranya mereka tidak melewati tulang-tulang dan kotoran melainkan mesti mereka
mendapatkan makanan pada kedua benda tersebut.” (HR Bukhari)
Penutup
Kekeliruan Komisi Fatwa MUI terletak pada pemahamannya
tentang objek hukum, dalam hal ini biji kopi yang keluar dari dubur luwak, yang
berujung pada kekeliruan menghukumi objek tersebut. Semoga tulisan ini ikut
membuka cakrawala pengetahuan kita tentang biji-bijian yang tidak tercerna oleh
binatang tapi mengalami perubahan, baik rasa, aroma, maupun pecahnya dormansi
pembenihannya.
Dari media massa saya peroleh berita, fatwa halal-tidaknya
kopi luwak ini diminta oleh sebuah perusahaan perkebunan di Jawa Timur dan Jawa
Barat. Mudah-mudahan Komisi Fatwa MUI atau anggota-anggotanya tidak menerima
uang sepeser pun dari siapa saja yang mendapat keuntungan dengan dihalalkannya
kopi luwak ini.
Mudah-mudahan masih ada ulama yang jujur, berhati-hati dalam
berfatwa, dan tidak menipu masyarakat dengan argumentasi-argumentasi yang
dibuat-buat. Semoga Allah SWT menampakkan kepada kita mana yang benar dan mana
keliru, karena hanya Dialah yang tahu hakekat segala sesuatu. Amin.
Sumber: http//:mediaislamnet.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar