Koleksi

Flag Counter

Jumat, 01 Juni 2012

“Eek Goreng” Kopi Luwak


"Kopi Luwak" yang baru keluar dari dubur Luwak


Dulu pernah ada tebak-tebakan di sebuah acara radio di Magelang.
Penyiar A: “Hayo, kenapa Bebek Goreng itu kok enak?”
Penyiar B: “Sebab dagingnya empuk. Kulitnya gurih!”
Penyiar A: “Bener, ning kurang pas.”
Penyiar B: “Lha terus apa?”
Penyiar A: “Bebek Goreng itu enak sebab ada ‘b’nya.”
Penyiar B: “Lha kok?”
Penyiar A: “Coba kalau nggak ada ‘b’nya, jadinya Eek Goreng, ya tho. Enak ora?”
Penyiar B: “Gundulmu!”
Itu dulu. Sekarang Eek Goreng banyak yang nyari. Harganya mungkin tambah mahal sejak difatwa halal oleh MUI! Eek goreng yang mana? Itu lho, biji kopi luwak yang ada di eeknya luwak. Setelah dibersihkan, dijemur, digoreng (sangrai), ditumbuk, dipisahkan kulitnya, diseduh dengan air panas, terus diminum. Uenak tenan! Kata yang pernah nyicipin eek goreng model ini.
Sebenarnya saya ogah komentar soal eek goreng model ini. Dikomentari atau tidak, toh yang menikmati eek goreng ini hanya segelintir orang yang duitnya tebel. Tapi, karena khawatir fatwa ini menjadi preseden peng-halal-an eek-eek yang lain, maka mau tidak mau saya kudu komentar membantah kekeliruan-kekeliruan yang berujung pada kesimpulan kopi luwak itu jadi halal.
Pengibaratan mutanajis yang salah
Komisi Fatwa MUI berusaha membuat opini bahwa biji kopi yang dimakan luwak tidak terpengaruh apapun dalam perjalanannya dari mulut, pencernaan hingga keluar dari dubur luwak. Kekerasan kulit biji kopi diibaratkan dengan kekerasan cincin emas atau berlian. Lalu dimunculkan pertanyaan yang pasti sudah diketahui masyarakat jawabannya. ”Jika cincin emas tertelan oleh manusia, lalu keluar melalui dubur. Apakah cincin emas itu jadi najis atau mutanajis (hanya terkena najis)?” Tentu orang awam pun akan menjawab cincin itu mutanajis. Masalahnya adalah pengibaratan yang dipakai itu salah.
Pertama, cincin emas, berlian adalah benda-benda dengan kekerasan sangat tinggi yang tidak terpengaruh sedikitpun oleh proses pencernaan manusia. Masuk emas keluar emas. Hanya dengan panas yang sangat tinggi emas apalagi berlian bisa terpengaruh dan leleh. Suhu tubuh manusia tidak akan mempengaruhi emas dan berlian. Sehingga ketika masuk pencernaan dan terkena kotoran manusia, emas dan berlian terkategori mutanajis.
Kedua, cincin emas dan berlian bukanlah benda-benda yang menjadi makanan luwak. Silakan taruh cincin emas atau berlian di depan luwak. Apakah ia akan memakannya? Tapi coba taruh anak ayam di depan luwak. Langsung dia santap! Nah, tulang-tulang ayam yang keluar dari dubur luwak (jika ada) bisa dijadikan pengibaratan dengan biji kopi yang tidak tercerna. Menurut anda, tulang ayam itu najis atau mutanajis?
Rasa dan aroma kopi Luwak berubah
Saya tidak pernah mencicipi kopi luwak. Tapi menurut orang-orang yang pernah mencicipinya, rasa kopi luwak uenak tenan! Rasanya beda dengan kopi biasa. Aromanya juga lebih harum. Apakah karena kopinya hanya dari kopi yang masak yang kulit buahnya berwarna merah? Tentu tidak. Kopi luwak jadi beda rasanya karena mengalami proses fermentasi dalam perut luwak. Walaupun tidak tercerna dan melewati perut luwak hanya sebentar, biji kopi sebelum masuk ke mulut dan pencernaan luwak berbeda rasanya dengan biji kopi yang keluar dari dubur luwak. Biji kopi yang keluar dari dubur luwak ini aromanya lebih harum (seperti harum daun pandan), rasanya lebih pahit dan lebih asam. Begitu kata yang pernah nyicipin kopi luwak. Kira-kira Komisi Fatwa MUI ikut nyicipi kopi luwak nggak ya? Nah, menurut anda, jika rasa dan aroma biji kopi telah berubah, apakah hanya mutanajis atau sudah najis? Tentu saja sudah menjadi feces alias eek alias tahi yang terkategori najis.
Biji yang tumbuh dari eek binatang
Opini lain yang dikembangkan oleh Komisi Fatwa MUI adalah ”jika biji yang keluar dari perut binatang itu bisa tumbuh, maka biji itu tidak najis”. Wow!
Opini ini tentu akan jadi bahan tertawaan orang-orang pertanian. Bocah angon (anak gembala) sekalipun akan geli mendengarnya. Kenapa? Karena banyak sekali biji-biji tumbuhan yang dimakan oleh burung atau mamalia, kemudian dikeluarkan melalui dubur binatang-binatang itu, justru lebih mudah tumbuh. Kenapa lebih mudah tumbuh? Karena pencernaan binatang-binatang itu memang diciptakan Allah sang Maha Pencipta untuk memecah dormansi biji-biji sehingga menjadi benih-benih yang siap tumbuh ketika keluar dari dubur binatang. Itulah sebabnya burung-burung dan mamalia (termasuk luwak) banyak menjadi penyebar alami bagi tumbuhan. Sekali-kali jika anda jalan-jalan ke desa dan bertemu dengan eek sapi (dalam bahasa Jawa disebut tlethong), cobalah perhatikan, dalam lima hari adakah di antara eek-eek itu tumbuh biji rerumputan? Sayangnya biji-biji di tlethong itu harganya murah. Coba kalau sangat mahal, mungkin akan difatwa halal (oleh kapitalis dan antek-anteknya).
Luwak alias musang
Di masyarakat Surabaya luwak alias musang ini memiliki image yang kurang baik. Kalau ada orang yang meledek temennya, dia memakai ungkapan: “Ooo… raimu kaya luwak!” (wajahmu seperti musang). Secara umum di masyarakat Indonesia pun, luwak atau musang sering dianggap sebagai hewan pencuri. Kalau ada ayam hilang, biasanya hewan yang lincah dan aktif di malam hari ini langsung jadi tertuduh. Sebutan “musang berbulu domba” dipakai untuk penjahat yang pura-pura baik pada kita.
Kehalalan mamalia liar pemakan aneka buah dan hewan kecil ini diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian menghukuminya halal berdasar hadits: Dari Ibnu Abi Ammar berkata: ”Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang musang, apakah ia termasuk hewan buruan?” Jawabnya: ”Ya”. Lalu aku bertanya: ”Apakah boleh dimakan?” Beliau menjawab: ”Ya”. Aku bertanya lagi: ”Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah saw?” Jawabnya: ”Ya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan an-Nasa’i). Sebagian lagi menghukuminya haram dikonsumsi berdasarkan hadits: Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: ”Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan.” (HR. Muslim dan Tirmidzi). Wallaahu a’lamu.
Haram menjual kopi Luwak
Asy-Syaikh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, seorang mujtahid yang tinggal di Indonesia,  menegaskan bahwa biji kopi yang keluar dari dubur luwak adalah najis sebagaimana najisnya biji-biji yang tidak tercerna yang keluar dari dubur manusia.
Sekedar mengingatkan, bahwa kotoran binatang alias eek hewan adalah najis sebagaimana kotoran manusia.
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata: Nabi saw pergi ke tempat buang air besar, lalu beliau memerintahkanku agar membawa tiga buah batu. Aku temukan dua buah batu, dan aku mencari yang ketiga, tetapi aku tidak menemukannya. Kemudian aku mengambil tahi kering, lalu aku berikan kepada beliau. Beliau mengambil dua buah batu dan membuang tahi tersebut, dan beliau bersabda: ”Sesungguhnya ini adalah najis.” (HR. Ahmad, Bukhari, Tirmidzi, dan Nasa’i)
Dari pemahaman saya terhadap biji kopi, proses fermentasi dalam pencernaan luwak, adanya lendir harum di sekitar dubur luwak, perubahan rasa dan aroma biji kopi yang keluar dari dubur luwak, maka saya menyimpulkan bahwa kopi luwak termasuk kotoran luwak, sehingga terkategori najis dan bukan mutanajis.  Oleh karena itu haram juga penjualannya.
Rasulullah saw bersabda: “Dan sesungguhnya Allah apabila mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka haram pula bagi mereka hasil penjualannya.” (HR Imam Ahmad dan Abu Dawud)
Jadi juallah kopi yang tidak keluar dari binatang. Insya Allah tetap enak, barakah, dan pasti halal. Halal kopinya, halal duitnya.
Biarlah untuk  makanan jin
Tak ada yang sia-sia apa yang diciptakan Allah. Kotoran Luwak, termasuk di dalamnya biji-biji kopi luwak, akan menjadi makanan bagi makhluq Allah yang lain, yaitu Jin.
Dari Abu Hurairah, bahwa ia pernah membawakan bejana Nabi saw untuk wudhu` dan bersuci. Tetapi tiba-tiba waktu ia mengikuti Nabi saw tersebut, Nabi saw bertanya: ”Siapa ini?” Abu Hurairah menjawab: ”Aku Abu Hurairah.” Lalu Nabi saw bersabda: ”Carikan aku batu-batu untuk aku pakai bercebok, tetapi jangan engkau membawakan tulang dan kotoran untukku.” Lalu aku memberikan kepada Nabi saw batu-batu yang aku membawanya dengan ujung bajuku, sehigga kuletakkan di samping beliau. Kemudian kutinggal pergi. Ketika beliau selesai (buang air) aku datang kepada beliau. Kemudian aku bertanya: ”Mengapa tulang dan kotoran itu tidak boleh?” Nabi saw menjawab: ”Keduanya adalah makanan jin. Dan sungguh utusan jin datang kepadaku yang berpangkat – mereka itu adalah sebaik-baik jin – lalu mereka minta bekal kepadaku, kemudian aku memohon kepada Allah untuk mereka kiranya mereka tidak melewati tulang-tulang dan kotoran melainkan mesti mereka mendapatkan makanan pada kedua benda tersebut.” (HR Bukhari)
Penutup
Kekeliruan Komisi Fatwa MUI terletak pada pemahamannya tentang objek hukum, dalam hal ini biji kopi yang keluar dari dubur luwak, yang berujung pada kekeliruan menghukumi objek tersebut. Semoga tulisan ini ikut membuka cakrawala pengetahuan kita tentang biji-bijian yang tidak tercerna oleh binatang tapi mengalami perubahan, baik rasa, aroma, maupun pecahnya dormansi pembenihannya.
Dari media massa saya peroleh berita, fatwa halal-tidaknya kopi luwak ini diminta oleh sebuah perusahaan perkebunan di Jawa Timur dan Jawa Barat. Mudah-mudahan Komisi Fatwa MUI atau anggota-anggotanya tidak menerima uang sepeser pun dari siapa saja yang mendapat keuntungan dengan dihalalkannya kopi luwak ini.
Mudah-mudahan masih ada ulama yang jujur, berhati-hati dalam berfatwa, dan tidak menipu masyarakat dengan argumentasi-argumentasi yang dibuat-buat. Semoga Allah SWT menampakkan kepada kita mana yang benar dan mana keliru, karena hanya Dialah yang tahu hakekat segala sesuatu. Amin.

Sumber: http//:mediaislamnet.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar