Koleksi

Flag Counter

Jumat, 08 Juni 2012

Putus



Arif
“Kita harus berhenti. Harus berani berpisah. Aku sudah menjelaskan padamu semuanya. Tidak ada bedanya kalau sekarang harus memberikan penjelasan lagi,” kataku padanya di suatu sore. Waktu serasa lambat berputar. Aku dengannya di sebuah kafe.
“Tapi aku menyayangi kamu.”
“Aku tahu. Aku juga menyayangi kamu. Karena itu aku menawarkan padamu, kita mengkaji Islam bersama-sama.”
“Kalau aku ngaji, apa kamu masih tetap menginginkan kita berpisah?”
“Ya.”
“Sudah tidak ada artinya cinta buatmu?”
“Cinta saja tidak cukup untuk apa yang menjadi keinginanku saat ini. Harusnya kita memang mendasarkan hidup kita dengan cinta. Cinta pada Allah, Rasulullah, pada Islam. Aku sudah mengatakannya padamu sebelum aku berjilbab. Dan aku tidak akan menariknya kembali. Kita jalan sendiri-sendiri mulai sekarang,” aku berusaha menguatkan hati. Meskipun aku merasa lumer di hadapannya. Begitu lemahnya, hingga merasakan pandanganku kabur oleh air mata. Tapi aku tidak akan menangis. Tidak boleh menangis.
“Kenapa kamu membuat luka?”
“Waktu akan menyembuhkan luka,” aku mencoba tegar.
“Waktu akan menyembuhkan luka, tapi kita tidak akan pernah lupa pada sakitnya. Aku tahu kamu menyayangi aku seperti kamu menyayangi dirimu sendiri. Aku tidak meminta banyak darimu. Aku bahkan tidak mempermasalahkan ngaji dan jilbabmu. Apa kamu tidak bisa menerima aku apa adanya? Kenapa kamu menyakiti dirimu sendiri?”
Dia masih menatapku. Suaranya bergetar.
“Apakah aku masih harus mengulanginya lagi? Bahwa apa yang kita lakukan selama ini salah? Bahwa tidak pernah ada kata pacaran dalam Islam? Bahwa kita adalah muslim dengan konsekuensi melaksanakan Islam secara keseluruhan? Kuakui aku memang sedang meruntuhkan apa yang pernah kita bangun selama ini. Aku tidak ingin memberimu harapan kosong.” Aku menjawab dengan memandang matanya.
“Kamu tidak pernah memberi alasan kenapa menolak diajak ngaji.”
“Beri aku waktu.”
“Jangan buat aku menunggu. Itu tidak akan mengubah apa pun. Ini kali terakhir kita bertemu.”
“Tidak!” Dia berteriak keras. Beberapa pengunjung menoleh ke tempat kami duduk, terkejut mendengar teriakannya. Kafe ini memang tempat favorit kami sejak pacaran pertama kali. Lokasinya strategis. Di jantung kota. Areanya luas. Nyaman. Penuh rimbun dedaunan. Desain interiornya bernuansa Jawa kesukaanku.
Meskipun beberapa pengunjung mendengar teriakannya, aku yakin mereka tidak akan mengerti. Tepatnya, tidak akan peduli. Hidup dalam masyarakat kapitalis membuat setiap orang berpikir kepentingan diri sendiri. Kapitalisme memang ibu kandung individualisme.
“Aku tidak mau,” katanya dengan suara tinggi.
“Aku tidak pernah berniat menyakitimu. Maafkan aku,” aku berjalan keluar. Meninggalkan dia dalam kebisuan.
Semula aku ragu harus memutuskan hubungan dengannya. Aku dan dia sudah pacaran hampir lima tahun. Sejak kami masih duduk di bangku SMP. Membuat kami saling terbuka dan mengenal sifat-sifat kami. Aku tahu aku mencintainya. Tapi kini, aku memahami ada yang aku cintai lebih darinya. Walau tak kunafikan, ada banyak kenangan tersendiri dalam hatiku. Bagaimana pun juga, sekarang aku harus berani dalam kesendirianku.
ooOoo
“Menurutmu bagaimana, Ran?” aku bertanya pada Rani, sahabatku sejak aku menyandang predikat mahasiswa. Aku memang meminta pertimbangannya ketika memutuskan dia.
“Kamu sanggup, kan?”
“Insya Allah. Kenapa tidak? Kalau aku tidak memutuskannya sekarang, nanti atau besok akan sangat terlambat. Dan aku memang sudah sangat terlambat,” ucapku.
“Kamu mengatakan semuanya?”
“Ya. Kita sudah membuat pilihan masing-masing. Sejujurnya aku tidak pernah menyangka bahwa aku yang akan memutuskannya. Cukup menyakitkan buat dia, juga untukku.”
Rani memelukku. “Sabar ya, Va… Innallaha ma’as shobiriin… sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Ingat, laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik dan perempuan yang baik adalah untuk laki-laki yang baik…”
Langit cerah saat aku mengantar Rani menemui dokter Aryanti. Meminta beliau berkenan menjadi salah satu pemateri Seminar bulan Juli mendatang.
“Selain saya, siapa yang akan hadir sebagai narasumber?” Tanya dokter spesialis anak yang juga anggota sebuah lembaga perlindungan anak itu.
“Ada Ibu Handayani dari Yayasan Tumbuh Kembang Aqila, dan dokter Laily Rahmawati dari partai politik Islam Ideologi,” terang Rani.
“Bisa diceritakan sedikit apa yang harus saya presentasikan?”
“Secara garis besar sudah kami sertakan di dalam proposalnya, Dokter. Kami mengagendakan, Ibu Handayani memaparkan fakta permasalahan anak saat ini. Misalnya, berkaitan dengan anak jalanan, tindakan kriminalitas yang dilakukan anak, anak-anak yang dieksploitasi secara seksual, anak-anak yang jadi pengungsi, juga anak yang putus sekolah..” terang Rani lebih lanjut.
“Untuk dokter Aryanti, karena dokter adalah aktivis sebuah lembaga perlindungan anak, kami harapkan bisa memberikan uraian singkat tentang upaya yang sudah dilaksanakan untuk menanggulanginya. Misalnya, dengan adanya Undang-undang Perlindungan Anak, hasil ratifikasi Konvensi Hak Anak, dan peraturan lainnya. Sementara dokter Laily nanti bisa memberikan penyelesaiannya dari sudut pandang syariat Islam,” imbuhnya lagi.
Dokter Aryanti masih memberikan beberapa pertanyaan lain yang semua dijawab lugas oleh Rani.
Ah, Rani. Diam-diam aku cemburu padanya. Di usia yang begitu belia, ia nampak begitu ‘basah’ dengan Islam. Sudah ngaji sejak masih SMU, katanya. Jauh berbeda denganku dan Dion yang menghabiskan masa sekolah menengah di sekolah non-Islam.
“Alhamdulillah, beliau bersedia,” kata Rani riang saat kami melintasi halaman parkir RS Saiful Anwar. “Mungkin besok-besok kita bisa meminta beliau ngaji bareng kita…”
Aku senyum-senyum ikut senang.
“Ada yang ingin kutanyakan, kalau kamu tidak keberatan,” aku mencoba membuka diskusi.
“Silakan.”
“Kenapa mengangkat tema permasalahan anak?”
“Karena Islam memandang anak sebagai generasi muda yang punya peran vital terhadap kemajuan umat di masa yang akan datang.”
Aku menyimak sambil mengawasi jalanan yang padat. Ini kondisi tidak ideal untuk berdiskusi. Dua semester mengenal Rani, hampir semua penjelasannya memerlukan perenungan untuk bisa kupahami.
“Karena itu, Islam sangat concern untuk melindungi anak. Anak adalah amanah dari Allah untuk dijaga dan dipelihara oleh keluarga, masyarakat, dan negara agar tetap berada dalam kebenaran. Orangtua adalah penanggungjawab pertama atas anak. Tanggungjawab ini secara bertingkat juga dibebankan kepada masyarakat. Sementara negara dalam ajaran Islam, berkewajiban melindungi dan memfasilitasi seluruh potensi anak agar tetap berada di jalan yang benar.”
“Kupikir untuk itulah ada Konvensi Hak Anak dan Undang-undang Perlindungan Anak.”
“Kamu pasti tahu siapa yang meratifikasi dan membuat kebijakan tersebut.”
“Konvensi Hak Anak dicetuskan oleh PBB. Lalu diratifikasi oleh lembaga tinggi negara untuk menjadi undang-undang. Siapa yang membuat peraturan? Ya negara. Siapa lagi?” jawabku.
“Dan kita juga sama-sama tahu bagaimana track-record mereka dalam menyelesaikan permasalahan baik hukum dan undang-undang.”
Aku membenarkan dalam hati.
“Satu hal yang perlu kita perhatikan. Sejarah panjang permasalahan anak di dunia tidak jauh dari sistem atau ideologi yang dianut suatu masyarakat. Munculnya penindasan, penyiksaan, dan kekerasan lain terhadap anak adalah implikasi dari pemikiran dan pemahaman suatu masyarakat terhadap anak,” Rani melanjutkan.
“Suburnya penindasan terhadap anak bisa dilihat setelah munculnya ideologi kapitalisme pasca dark age di Eropa. Sampai sekarang fenomena ini banyak terjadi di negara-negara pengusung kapitalisme. Misalnya di Amerika dan Perancis. Juga tidak ketinggalan di India, Pakistan, Indonesia, dan negara dunia ketiga lainnya…”
“Kamu salah satu pembicara, ya?” tanyaku. Sedikit mengagumi keluasan wawasannya.
“Jangan menghina, dong. Ini kudapatkan dari membaca, kok. Mau dilanjutkan?”
“Boleh,” jawabku.
“Karena itu muncul Konvensi Hak Anak. Tetapi, karena lahir dari aturan demokrasi kapitalistik, permasalahan baru terus saja bermunculan. Patah tumbuh, hilang berganti. Kita perlu solusi yang benar. Dan itu hanya ada pada sistem pemerintahan Islam.” Tutur Rani lagi.
“Jadi Islam memiliki solusi untuk semua permasalahan?”
“Tepat.”
“Apa solusi Islam untuk orang yang sedang broken-hearted?” Aku memandang lurus ke depan.
Hening.
“Aku serius,” Dia di kafe, suatu siang sepulang sekolah.
“Kenapa musti aku?”
“Apa itu perlu dijawab?”
“Ya.”
“Apa ya… mungkin karena kamu tidak membosankan. Pertanyaannya susah diperkirakan.”
Aku tertawa. Jawaban konyol, menurutku. “Lalu apa yang membuatmu yakin aku tidak akan menolak?”
“Kalau kamu bertanya berapa dalam aku mencintaimu, sulit kujawab tanyamu itu. Karena cinta tidak dinilai dari kata-kata. Tapi dari perhatian dan perilaku kita.”
“Va…?” suara Rani yang agak nyaring mengembalikan aku ke masa sekarang.
Rani memandangku. Senyum simpul mengembang di bibirnya.
“Putus cinta memang menyakitkan. Tapi,” lanjutnya. “In the end it doesn’t even ?matter*…?”
Kali ini aku tergelak. ?”I’ve put my trust in you. Pushed as far as I can go.*”
“And for all this, there’s one thing you should know*. Islam juga memberikan solusi bagi mereka yang lagi patah hati.” Rani ikut tertawa.
“Kita bicarakan di dalam saja,” aku membelokkan mobil ke halaman sebuah restoran muslim di bilangan Kayutangan.
Saat masuk ke ruangan, Rani menyenggol lenganku.
“Lihat,” katanya.
“Apa?” tanyaku.
“Dion.”
Aku mengikuti arah pandangnya. Di sudut ruangan kulihat Dion, bersama seorang gadis. Dianti, fakultas Sastra. Aku pernah ditugaskan meliput berita bersamanya. Keduanya nampak begitu dekat. Akrab. Dan berbahagia.
Tiba-tiba saja aku ingat. Juni ini genap lima tahun aku pacaran dengan Dion. Aku seperti meneguk ramuan jamu pahit yang akan menambah kekuatanku.
“Iva, kamu nggak apa-apa? Kita pindah ke resto lain saja, yuk,” ajak Rani. Mungkin dia berpikir aku akan pingsan di tempat kejadian perkara.
“Tidak perlu, Ran. Aku baik-baik saja,” ucapku tenang dan yakin. Begitu yakinnya sampai aku sendiri heran. “Kita makan di sini saja.”
Senja. Kusongsong jingga di barat kota. Siluetnya memahat wajah Dion di sela mega. Hanya sekejap, lalu sirna. Berganti dengan bayangan Rani, Anisah, Prawesti, Mbak Tias, dan aktivis dakwah kampus lainnya.
“Kita hidup hanya sekali. Sesudah itu mati,” ucap Mbak Tias suatu ketika. “Dan dalam hidup ini, kita harus tahu pasti untuk apa kita hidup.”
Sayup kudengar lantunan adzan maghrib berkumandang. Dari jendela mobil yang kubiarkan terbuka, angin menerpa khimarku. Mengucapkan selamat petang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar