Arif
“Kita harus berhenti. Harus berani berpisah.
Aku sudah menjelaskan padamu semuanya. Tidak ada bedanya kalau sekarang harus
memberikan penjelasan lagi,” kataku padanya di suatu sore. Waktu serasa lambat
berputar. Aku dengannya di sebuah kafe.
“Tapi
aku menyayangi kamu.”
“Aku
tahu. Aku juga menyayangi kamu. Karena itu aku menawarkan padamu, kita mengkaji
Islam bersama-sama.”
“Kalau
aku ngaji, apa kamu masih tetap menginginkan kita berpisah?”
“Ya.”
“Sudah
tidak ada artinya cinta buatmu?”
“Cinta
saja tidak cukup untuk apa yang menjadi keinginanku saat ini. Harusnya kita
memang mendasarkan hidup kita dengan cinta. Cinta pada Allah, Rasulullah, pada
Islam. Aku sudah mengatakannya padamu sebelum aku berjilbab. Dan aku tidak akan
menariknya kembali. Kita jalan sendiri-sendiri mulai sekarang,” aku berusaha
menguatkan hati. Meskipun aku merasa lumer di hadapannya. Begitu lemahnya,
hingga merasakan pandanganku kabur oleh air mata. Tapi aku tidak akan menangis.
Tidak boleh menangis.
“Kenapa
kamu membuat luka?”
“Waktu
akan menyembuhkan luka,” aku mencoba tegar.
“Waktu
akan menyembuhkan luka, tapi kita tidak akan pernah lupa pada sakitnya. Aku
tahu kamu menyayangi aku seperti kamu menyayangi dirimu sendiri. Aku tidak
meminta banyak darimu. Aku bahkan tidak mempermasalahkan ngaji dan jilbabmu.
Apa kamu tidak bisa menerima aku apa adanya? Kenapa kamu menyakiti dirimu
sendiri?”
Dia
masih menatapku. Suaranya bergetar.
“Apakah
aku masih harus mengulanginya lagi? Bahwa apa yang kita lakukan selama ini
salah? Bahwa tidak pernah ada kata pacaran dalam Islam? Bahwa kita adalah
muslim dengan konsekuensi melaksanakan Islam secara keseluruhan? Kuakui aku
memang sedang meruntuhkan apa yang pernah kita bangun selama ini. Aku tidak
ingin memberimu harapan kosong.” Aku menjawab dengan memandang matanya.
“Kamu
tidak pernah memberi alasan kenapa menolak diajak ngaji.”
“Beri
aku waktu.”
“Jangan
buat aku menunggu. Itu tidak akan mengubah apa pun. Ini kali terakhir kita
bertemu.”
“Tidak!”
Dia berteriak keras. Beberapa pengunjung menoleh ke tempat kami duduk, terkejut
mendengar teriakannya. Kafe ini memang tempat favorit kami sejak pacaran
pertama kali. Lokasinya strategis. Di jantung kota. Areanya luas. Nyaman. Penuh
rimbun dedaunan. Desain interiornya bernuansa Jawa kesukaanku.
Meskipun
beberapa pengunjung mendengar teriakannya, aku yakin mereka tidak akan
mengerti. Tepatnya, tidak akan peduli. Hidup dalam masyarakat kapitalis membuat
setiap orang berpikir kepentingan diri sendiri. Kapitalisme memang ibu kandung
individualisme.
“Aku
tidak mau,” katanya dengan suara tinggi.
“Aku
tidak pernah berniat menyakitimu. Maafkan aku,” aku berjalan keluar.
Meninggalkan dia dalam kebisuan.
Semula
aku ragu harus memutuskan hubungan dengannya. Aku dan dia sudah pacaran hampir
lima tahun. Sejak kami masih duduk di bangku SMP. Membuat kami saling terbuka
dan mengenal sifat-sifat kami. Aku tahu aku mencintainya. Tapi kini, aku
memahami ada yang aku cintai lebih darinya. Walau tak kunafikan, ada banyak
kenangan tersendiri dalam hatiku. Bagaimana pun juga, sekarang aku harus berani
dalam kesendirianku.
ooOoo
“Menurutmu
bagaimana, Ran?” aku bertanya pada Rani, sahabatku sejak aku menyandang
predikat mahasiswa. Aku memang meminta pertimbangannya ketika memutuskan dia.
“Kamu
sanggup, kan?”
“Insya
Allah. Kenapa tidak? Kalau aku tidak memutuskannya sekarang, nanti atau besok
akan sangat terlambat. Dan aku memang sudah sangat terlambat,” ucapku.
“Kamu
mengatakan semuanya?”
“Ya.
Kita sudah membuat pilihan masing-masing. Sejujurnya aku tidak pernah menyangka
bahwa aku yang akan memutuskannya. Cukup menyakitkan buat dia, juga untukku.”
Rani
memelukku. “Sabar ya, Va… Innallaha ma’as shobiriin… sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar. Ingat, laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik
dan perempuan yang baik adalah untuk laki-laki yang baik…”
Langit
cerah saat aku mengantar Rani menemui dokter Aryanti. Meminta beliau berkenan
menjadi salah satu pemateri Seminar bulan Juli mendatang.
“Selain
saya, siapa yang akan hadir sebagai narasumber?” Tanya dokter spesialis anak
yang juga anggota sebuah lembaga perlindungan anak itu.
“Ada
Ibu Handayani dari Yayasan Tumbuh Kembang Aqila, dan dokter Laily Rahmawati
dari partai politik Islam Ideologi,” terang Rani.
“Bisa
diceritakan sedikit apa yang harus saya presentasikan?”
“Secara
garis besar sudah kami sertakan di dalam proposalnya, Dokter. Kami
mengagendakan, Ibu Handayani memaparkan fakta permasalahan anak saat ini.
Misalnya, berkaitan dengan anak jalanan, tindakan kriminalitas yang dilakukan
anak, anak-anak yang dieksploitasi secara seksual, anak-anak yang jadi
pengungsi, juga anak yang putus sekolah..” terang Rani lebih lanjut.
“Untuk
dokter Aryanti, karena dokter adalah aktivis sebuah lembaga perlindungan anak,
kami harapkan bisa memberikan uraian singkat tentang upaya yang sudah
dilaksanakan untuk menanggulanginya. Misalnya, dengan adanya Undang-undang
Perlindungan Anak, hasil ratifikasi Konvensi Hak Anak, dan peraturan lainnya.
Sementara dokter Laily nanti bisa memberikan penyelesaiannya dari sudut pandang
syariat Islam,” imbuhnya lagi.
Dokter
Aryanti masih memberikan beberapa pertanyaan lain yang semua dijawab lugas oleh
Rani.
Ah,
Rani. Diam-diam aku cemburu padanya. Di usia yang begitu belia, ia nampak
begitu ‘basah’ dengan Islam. Sudah ngaji sejak masih SMU, katanya. Jauh berbeda
denganku dan Dion yang menghabiskan masa sekolah menengah di sekolah non-Islam.
“Alhamdulillah,
beliau bersedia,” kata Rani riang saat kami melintasi halaman parkir RS Saiful
Anwar. “Mungkin besok-besok kita bisa meminta beliau ngaji bareng kita…”
Aku
senyum-senyum ikut senang.
“Ada
yang ingin kutanyakan, kalau kamu tidak keberatan,” aku mencoba membuka
diskusi.
“Silakan.”
“Kenapa
mengangkat tema permasalahan anak?”
“Karena
Islam memandang anak sebagai generasi muda yang punya peran vital terhadap
kemajuan umat di masa yang akan datang.”
Aku
menyimak sambil mengawasi jalanan yang padat. Ini kondisi tidak ideal untuk
berdiskusi. Dua semester mengenal Rani, hampir semua penjelasannya memerlukan
perenungan untuk bisa kupahami.
“Karena
itu, Islam sangat concern untuk melindungi anak. Anak adalah amanah dari Allah
untuk dijaga dan dipelihara oleh keluarga, masyarakat, dan negara agar tetap
berada dalam kebenaran. Orangtua adalah penanggungjawab pertama atas anak.
Tanggungjawab ini secara bertingkat juga dibebankan kepada masyarakat.
Sementara negara dalam ajaran Islam, berkewajiban melindungi dan memfasilitasi
seluruh potensi anak agar tetap berada di jalan yang benar.”
“Kupikir
untuk itulah ada Konvensi Hak Anak dan Undang-undang Perlindungan Anak.”
“Kamu
pasti tahu siapa yang meratifikasi dan membuat kebijakan tersebut.”
“Konvensi
Hak Anak dicetuskan oleh PBB. Lalu diratifikasi oleh lembaga tinggi negara
untuk menjadi undang-undang. Siapa yang membuat peraturan? Ya negara. Siapa
lagi?” jawabku.
“Dan kita juga sama-sama tahu bagaimana track-record mereka dalam menyelesaikan
permasalahan baik hukum dan undang-undang.”
Aku
membenarkan dalam hati.
“Satu
hal yang perlu kita perhatikan. Sejarah panjang permasalahan anak di dunia
tidak jauh dari sistem atau ideologi yang dianut suatu masyarakat. Munculnya
penindasan, penyiksaan, dan kekerasan lain terhadap anak adalah implikasi dari
pemikiran dan pemahaman suatu masyarakat terhadap anak,” Rani melanjutkan.
“Suburnya penindasan terhadap anak bisa
dilihat setelah munculnya ideologi kapitalisme pasca dark
age di Eropa. Sampai
sekarang fenomena ini banyak terjadi di negara-negara pengusung kapitalisme.
Misalnya di Amerika dan Perancis. Juga tidak ketinggalan di India, Pakistan,
Indonesia, dan negara dunia ketiga lainnya…”
“Kamu
salah satu pembicara, ya?” tanyaku. Sedikit mengagumi keluasan wawasannya.
“Jangan
menghina, dong. Ini kudapatkan dari membaca, kok. Mau dilanjutkan?”
“Boleh,”
jawabku.
“Karena
itu muncul Konvensi Hak Anak. Tetapi, karena lahir dari aturan demokrasi
kapitalistik, permasalahan baru terus saja bermunculan. Patah tumbuh, hilang
berganti. Kita perlu solusi yang benar. Dan itu hanya ada pada sistem
pemerintahan Islam.” Tutur Rani lagi.
“Jadi
Islam memiliki solusi untuk semua permasalahan?”
“Tepat.”
“Apa solusi Islam untuk orang yang sedang broken-hearted?”
Aku memandang lurus ke depan.
Hening.
“Aku
serius,” Dia di kafe, suatu siang sepulang sekolah.
“Kenapa
musti aku?”
“Apa
itu perlu dijawab?”
“Ya.”
“Apa
ya… mungkin karena kamu tidak membosankan. Pertanyaannya susah diperkirakan.”
Aku
tertawa. Jawaban konyol, menurutku. “Lalu apa yang membuatmu yakin aku tidak
akan menolak?”
“Kalau
kamu bertanya berapa dalam aku mencintaimu, sulit kujawab tanyamu itu. Karena
cinta tidak dinilai dari kata-kata. Tapi dari perhatian dan perilaku kita.”
“Va…?”
suara Rani yang agak nyaring mengembalikan aku ke masa sekarang.
Rani
memandangku. Senyum simpul mengembang di bibirnya.
“Putus
cinta memang menyakitkan. Tapi,” lanjutnya. “In the end it doesn’t even
?matter*…?”
Kali
ini aku tergelak. ?”I’ve put my trust in you. Pushed as far as I can go.*”
“And
for all this, there’s one thing you should know*. Islam juga memberikan solusi
bagi mereka yang lagi patah hati.” Rani ikut tertawa.
“Kita
bicarakan di dalam saja,” aku membelokkan mobil ke halaman sebuah restoran
muslim di bilangan Kayutangan.
Saat
masuk ke ruangan, Rani menyenggol lenganku.
“Lihat,”
katanya.
“Apa?”
tanyaku.
“Dion.”
Aku
mengikuti arah pandangnya. Di sudut ruangan kulihat Dion, bersama seorang
gadis. Dianti, fakultas Sastra. Aku pernah ditugaskan meliput berita
bersamanya. Keduanya nampak begitu dekat. Akrab. Dan berbahagia.
Tiba-tiba
saja aku ingat. Juni ini genap lima tahun aku pacaran dengan Dion. Aku seperti
meneguk ramuan jamu pahit yang akan menambah kekuatanku.
“Iva,
kamu nggak apa-apa? Kita pindah ke resto lain saja, yuk,” ajak Rani. Mungkin
dia berpikir aku akan pingsan di tempat kejadian perkara.
“Tidak
perlu, Ran. Aku baik-baik saja,” ucapku tenang dan yakin. Begitu yakinnya
sampai aku sendiri heran. “Kita makan di sini saja.”
Senja.
Kusongsong jingga di barat kota. Siluetnya memahat wajah Dion di sela mega.
Hanya sekejap, lalu sirna. Berganti dengan bayangan Rani, Anisah, Prawesti,
Mbak Tias, dan aktivis dakwah kampus lainnya.
“Kita
hidup hanya sekali. Sesudah itu mati,” ucap Mbak Tias suatu ketika. “Dan dalam
hidup ini, kita harus tahu pasti untuk apa kita hidup.”
Sayup
kudengar lantunan adzan maghrib berkumandang. Dari jendela mobil yang kubiarkan
terbuka, angin menerpa khimarku. Mengucapkan selamat petang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar